Tuesday, March 31, 2015

Hubungan Antara Pengetahuan tentang Gizi, Pola Makan Dengan Insidensi Anemia/Status Gizi Ibu Hamil/Gizi Ibu Hamil/Anemia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anemia gizi dapat disebabkan karena kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin, Vitamin E. Keadaan kurang besi adalah penyebab anemia gizi yang paling sering ditemui. Salah satu penyebab terjadinya anemia defisiensi besi adalah asupan yang tidak mencukupi. Asupan zat gizi sehari-hari sangat tergantung pada pola makan yang dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola makan remaja adalah pengetahuan gizi yang dimiliki. Remaja putri termasuk golongan rawan menderita anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan kebutuhan yaitu mereka sedang dalam masa pertumbuhanan dan setiap bulannya mengalami menstruasi yang menyebabkan kehilangan zat besi. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan belajar karena menurunnya daya konsentrasi dan daya pikir. Kekurangan zat besi juga dapat menyebabkan daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun.

Berdasarkan data terdapat sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi dan sebanyak 14% wanita yang sedang menstruasi juga mengalami anemia defisiensi besi (Dito, 2007). Volume darah yang hilang selama menstruasi berkisar antara 25-30 cc per bulan. Jumlah ini mencerminkan kehilangan zat besi sebanyak 12,5-15 mg per bulan atau 0,4-0,5 mg per hari selama 28 hari. Bila ditambah dengan kehilangan basal, kehilangan zat besi total wanita sekitar 1,25 mg per hari dan bila dihitung berdasarkan frekuensinya distribusi kehilangan darah menstruasi, dapat diketahui bahwa hanya 2,5% wanita yang membutuhkan zat besi lebih dari 2,4 mg per hari (DeMaeyer, 1993).

Hasil dari penelitian Arey (1939), yang menganalisis temuan dari 12 studi berbeda yang meneliti sekitar 20.000 catatan kalender dari 1500 wanita, menyimpulkan bahwa tidak terbukti adanya keteraturan siklus menstruasi yang sempurna (Cunningham et. al, 2006). Gunn et. al (1937), dalam suatu studi terhadap 479 wanita normal Inggris, mendapatkan bahwa perbedaan tipikal antara siklus terpendek dan terpanjang adalah 8 atau 9 hari. Pada 30% wanita, perbedaan tersebut dapat mencapai lebih dari 13 hari, tetapi tidak pernah kurang dari 2 hari pada wanita manapun (Cunningham et. al, 2006).

Jumlah darah yang keluar selama periode menstruasi normal telah dipelajari oleh beberapa kelompok peneliti yang menemukan bahwa jumlah berkisar antara 25 ml sampai 60 ml. Pada konsentrasi hemoglobin (Hb) normal yaitu 14 gr/dl dan konsentrasi besi Hb 3,4 mg/gr, volume darah ini mengandung besi sekitar 12 sampai 29 mg dan mencerminkan pengeluaran darah ekuivalen dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi setiap hari selama siklus, atau dari 150 sampai 400 mg per tahun. Karena jumlah besi yang diserap dari makanan biasanya cukup terbatas, maka pengeluaran besi yang tampaknya tidak berarti ini menjadi penting karena ikut menurunkan cadangan besi yang pada sebagian besar wanita sudah rendah (Cunningham et al, 2006). Batas kadar Hb remaja putri menurut World Health Organization (WHO 1997) untuk diagnosis anemia apabila kurang dari 12 gr/dl. Menurut Kodiyat (1995), prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia sekitar 63,5%, balita (55,5%), anak usia sekolah (20-40%), wanita dewasa (30-40%), pekerja berpenghasilan rendah (30-40%) dan pria dewasa (20-30%) (Inayati, 2006). Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia seperti kehilangan darah karena luka berat, tindakan pembedahan, menstruasi, kecelakaan, terlalu sering menjadi donor darah bahkan melahirkan. Beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan kondisi anemia adalah pola makan rendah kandungan besi dan vitamin, khususnya folat, gangguan intestinal yang akan mempengaruhi absorpsi zat-zat gizi ke dalam tubuh kondisi kehamilan dimana tubuh memerlukan asupan besi yang lebih tinggi, menstruasi, penyakit kronis, riwayat kesehatan keluarga dengan kasus anemia serta pecandu alkohol (Inayati, 2006).

Pada wanita siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari, walaupun hal ini berlaku umum tidak semua wanita memiliki siklus menstruasi yang sama, terkadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Masa sekolah biasanya lama menstruasi belum diketahui dan belum teratur (Wikipedia, 2007).

Anemia dapat terjadi pada setiap tahap kehidupan, secara statistik lebih sering didapatkan pada balita dan ibu hamil. Kebutuhan zat besi meningkat pada masa pertumbuhan atau usia balita karena pada masa itu pertumbuhan seorang anak sangat pesat (Vira, 2008). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 1995 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia sebesar 57,1%. Penelitian Wirawan (1995) di Jakarta Timur pada siswa SLTA menunjukkan prevalensi anemia sebesar 44,4%. Sedangkan Tambunan (1995) mendapatkan dari 107 siswi SLTA di Jakarta, 24,3% mengalami anemia defisiensi besi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Permaesih dkk (1990) menunjukkan bahwa persentase penderita anemia pada kelompok wanita remaja santri sebanyak 44,4%. Remaja putri lebih rawan terkena anemia dibandingkan anak-anak dan usia dewasa karena remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk besi. Remaja putri mengalami peningkatan kebutuhan besi karena percepatan pertumbuhan (growth spurt) dan menstruasi (Lynch, 2000). Selain itu, remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makan dan melakukan pantangan terhadap banyak makanan (Sediaoetomo, 1992). Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian anemia sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dreyfuss et al. (2000), adalah defisiensi vitamin A. Faktor lain, yaitu kekurangan konsumsi energi dan protein juga dapat menurunkan kadar hemoglobin dalam darah (Berger et al., 1997).

Di samping itu hasil penelitian pada wanita usia 15–49 tahun di Bangladesh menunjukkan bahwa ketersediaan besi dalam tubuh, tinggi badan, dan konsumsi tablet besi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kadar hemoglobin (Bhargava et al., 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Antelman et al. (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan indeks massa tubuh (IMT), konsumsi sayuran dan kadar serum retinol dengan anemia pada wanita usia subur. Khumaidi (1989) mengemukakan faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga yang rendah. Pendidikan orangtua menentukan kondisi ekonomi rumahtangga yang pada akhirnya mempengaruhi konsumsi keluarga (Sariningrum, 1990). Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan (Berg, 1986). Pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan tingkat konsumsi besi yang berasal dari daging, ikan, dan unggas serta makanan dari sumber hewani lainnya (Bhargava et al., 2001). Sedangkan pengetahuan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap keadaan gizi individu yang bersangkutan termasuk status anemia (Saraswati, 1997). Anemia bisa disebabkan oleh kehilangan darah, diare dan malabsorbsi, frekuensi donor darah yang sering dan konsumsi makanan yang tidak adekuat (Hui, 1985).

Di samping itu keadaan tertentu seperti kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan, menderita penyakit kronis (seperti tuberkulosis) serta kehilangan darah karena infeksi parasit (malaria dan kecacingan) akan memperberat kejadian anemia (Arisman, 2004). Akibat dari anemia pada remaja antara lain dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit, menurunkan aktivitas remaja yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar serta menurunkan kebugaran remaja, sehingga menghambat prestasi olahraga dan produktivitas. Di samping itu, anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada saat kehamilan. Menurut Yip (1998) status besi harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan anemia pada kehamilan akan dapat dikurangi. Upaya penanggulangan masalah anemia pada remaja berkaitan dengan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya anemia. oleh karena itu diperlukan informasi masalah gizi pada remaja serta fakor-faktor yang mempengaruhinya. Informasi ini sangat berguna sebagai dasar penetapan strategi program perbaikan kesehatan dan gizi pada kelompok remaja. Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus karena tingginya prevalensi anemia gizi pada ibu hamil (62,9%) berdasarkan hasil pemetaan anemia gizi di Jawa Tengah pada Tahun 1999 (Soeharyo dkk, 1999). Namun sampai saat ini belum ada data mengenai prevalensi anemia pada remaja di Kabupaten Kudus.

No comments:

Post a Comment