Saturday, May 2, 2015

Ruang Lingkup Penelitian Kebidanan


Penelitian Kebidanan memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan penelitian kebidanan mencakup kategori :
  1. Kehamilan : lingkup penelitian ini adalah segala bentuk penelitian yang membahas tentang berbagai masalah- masalah kehamilan, seperti perubahan- perubahan fisiologi atau psikologi yang terjadi selama kehamilan, dampak perubahan tersebut pada ibu atau keluarga serta masalah lain seperti perdarahan pervaginam, hipertensi gravidarum, nyeri kepala, nyeri perut bagian bawah, status gizi ibu hamil dll. Contoh : Gambaran Pengetahuan Primi Gravida tentang Hiperemesis Gravidarum dan Penanganannyadi Rumah Bersalin A
  2. Persalinan : Lingkup ini membahas tentang berbagai masalah- masalah yang terjadi dalam proses persalinan, seperti cepat atau tidaknya proses persalinan (kala I, II, III dan IV) dan teknik- teknik yang tepat dalam membantu proses persalinan. Contoh : Pengaruh Kehadiran Suami terhadap Percepatan Proses Persalinan pada Ibu yang dirawat di Rumah Bersalinan B
  3. Nifas (Pasca Persalinan) : membahas berbagai masalah selama nifas, seperti proses laktasi dan menyusui, respon orangtua terhadap bayi baru lahir, perubahan fisiologi dan patologi setelah masa nifas, kebutuhan masa nifas, nyeri, infeksi, perawatan payudara, perineum, senam nifas dan lain- lain. Contoh : Studi tentang Proses Laktasi dan Menyusui Pada Ibu Nifas di Rumah Bersalin C
  4. Patologi Kebidanan : membahas tentang masalah patologi kebidanan, seperti adanya penyakit tuberkulosis paru, gagal ginjal, hipertensi, diabetes, asma atau penyakit infeksi seperti sifilis, toksoplasmosis, hepatitis atau penyulit lain seperti anemia kehamilan, hiperemesis, abortus, molahidatidosa, pre eklamsi, solusio plasenta, plasenta previa, letak lintang, dan bendungan ASI, tromboplebitis dan lain- lain. Contoh : Faktor- faktor yang Mempengaruhi terjadinya Anemia pada Ibu Hamil yang di rawat di Rumah Bersalin D
  5. Kebidanan Komunitas : membahas masalah kebidanan di komunitas seperti kematian ibu dan bayi, kehamilan remaja, unsafe abortion, bayi berat lahir rendah, tingkat kesuburan, pertolongan persalinan oleh non kesehatan, perilaku sosial budaya yang berpengaruh pada masalah kebidanan dan penyakit menular seksual. Contoh : Faktor- faktor yang Mempengaruhi Tingginya Kematian Ibu dan Anak yang Tinggal di Daerah A
  6. Neonatus, Bayi dan Balita : membahas masalah pada neonatus, bayi dan balita diantaranya adaptasi bayi baru lahir, adanya infeksi, rawat gabung, tumbuh kembang, serta masalah lain, seperti trauma lahir, adanya infeksi, rawat gabung, tumbuh kembang, serta masalah lain seperti trauma lahir, da berbagai penyakit pada bayi seperti bercak mongol, hemangioma, ikterik, diaper rush diare, infeksi dll. 
  7. Keluarga Berencana : membahas masalah yang berkaitan dengan keluarga berencana mulai dari efektifitas penggunaan KB, dampak, cara/ metode, konseling dan lain- lain.
  8. Kesehatan Reproduksi : membahas masalah tentang kesehatan reproduksi seperti infertilitas, sexual transmitted disease atau penyakit menular seksual, gangguan haid, pelvic inflamatory disease, aborsi dan penyakit keganasan.

Tuesday, April 28, 2015

Jurus Jitu Menyusun Karya Tulis Ilmiah

Seringkali sebagai mahasiswa kita kebingungan apabila tiba saatnya menyusun sebuah karya tulis ilmiah, bingung harus mulai dari mana tahapannya apakah judul terlebih dahulu ? apalah mencari masalah dulu ??? belum lagi arahan pembimbing yang kadang- kadang membuat kita bingung ? Bukan arahannya yang membingungkan akan tetapi kitalah yang kebingungan karena terlalu panik. STOP !!!! Dont Panic !!! Still Focus for Your Goal !!! Ok !!!
Nach...sebenarnya menentukan masalah atau judul untuk sebuah karya tulis ilmiah ataupun tesis kebidanan bukanlah perkara yang sulit, KALAU SAJA semua tahapan kuliah dijalani dengan baik, Yup that's right tahapan kuliah salah satunya adalah praktik lapangan kebidanan...disanalah kita bisa menemukan hal- hal/ masalah- masalah kesehatan yang menarik untuk diteliti.
1. Tentukan Sasaran (neonatus, bayi, anak, remaja, ibu hamil, bersalin, nifas, menyusui, masa interval, dan menopause)

2. Usahakan jangan membahas terlalu dalam mengenai penyakit ataupu hal- hal yang berhubungan dengan psikologis yang kita sendiri nantinya kebingungan untuk mencari tolak ukurnya

3. Masalah yang fenomenal sesuai sasaran atau kita mau ambil salah satu target MDG's (a. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan; b. Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua; c. Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan; d.Menurunkan Angka Kematian Anak; e.Meningkatkan Kesehatan Ibu; f.Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya; g.Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan h.Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan).

4. Set judul, usahakan ketika membuat judul kita bisa menggambarkan dan menceritakan kira- kira seperti apa penelitian kita, siapa populasi, sampel dan bagaimana kita menganalisanya)

5. Cari data dilapangan seputar masalah yang kita teliti, contoh  kita mau meneliti tentang BBLR, cara insidensi BBLR di Indonesia, di kota tempat kita meneliti atau dilokasi penelitian kita misal di RS atau klinik. Lalu berapa angka kematian yang diakibatkan BBLR berdasarkan tahun, apa penyebabnya. Kemudian siapa yang mau diteliti apakah ibunya atau bayinya secara langsung.

6. Lalu yang tak kalah penting adalah sumber- sumber yang up to date untuk mendukung penelitian kita tersebut.

7. Tanamkan keberanian untuk melakukan bimbingan/ konsultasi kepada dosen yang telah ditunjuk untuk membimbing. mereka bertugas membimbing apapun kondisinya apapun alasannya wajib bagi seorang mahasiswa yang sedang menyusun KTI/ tesis untuk melakukan bimbingan.

8. Ok jika masih bingung ??? Boleh sich garuk- garuk kepala, tapi jangan sampai ngejedutin kepala ke dinding yach...kalau masih bingung juga, ya itu wajarlah namanya juga masih belajar....udah belajar, udah konsultasi tapi masih aja keder dengan KTI/ Tesis silahkan hubungi kami via inbox fb kami https://www.facebook.com/ririn.deflina.39

9. Ok.....kami tunggu pesanannya, Inshaallah amanah









Friday, April 3, 2015

Suntik Pematangan Paru

Pada kehamilan yang dianggap beresiko dan memenuhi indikasi untuk dilakukan persalinan dengan tindakan operasi sesar, dimana usia kehamilan belum mencukupi waktunya, ditakutkan terjadinya pengembangan paru yang tidak sempurna yang dapat berakibat pada kematian pada bayi yang baru lahir akibat paru-paru yang belum matang sempurna. 

Surfaktan merupakan komponen yang penting dalam proses pengembangan paru. Surfaktan akan dikeluarkan pada usia kehamilan 24-26 minggu, dan mulai berfungsi aktif pada usia 32-34 minggu.

Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh pengobatan betamethasone atau deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan atau kehamilan preterm 24-34 minggu.

Untuk itu, diskusikanlah kembali mengenai perlu atau tidaknya suntik pematangan paru pada kasus Anda dimana usia kehamilan sudah mencapai usia 39 minggu, mungkin saja dokter Anda memiliki pertimbangan lain yang belum disampaikan kepada Anda. 
 
Suntikan Pematangan paru sudah bisa diberikan pada usia kehamilan 28minggu, namun karena kemampuan NICU di Indonesia utk menopang hidup bayi prematur dibawah 1500 gram (dibawah 30 mgg) masih rendah, sehingga janin sebisa mungkin tidak dilahirkan sampai diatas 2000 gram. Suntikan pematangan paru diberikan hanya jika terjadi ancaman harus lahir prematur, dan diberikan segera saat pasien masuk dirawat akibat ancaman prematur (seperti kontraksi berulang, ketuban pecah dini) selama 2 hari penyuntikan.
Kehamilan kembar merupakan salah satu kondisi yang berisiko lahir prematur. Karena itu, pada wanita hamil kembar acapkali dilakukan suntikan obat untuk memicu pematangan paru-paru janin, sehingga diharapkan bayi yang dilahirkan tidak memiliki masalah pernapasan. Injeksi intra vena untuk pematangan paru-paru janin dilakukan di daerah pergelangan tangan ibu. Mengenai rasa sakit saat disuntik, ada ibu yang mengatakan tidak sakit hanya kurang nyaman, namun ibu lainnya mungkin berpendapat berbeda.

Injeksi ini bertujuan :
untuk membantu mempersiapkan alveolus paru untuk lebih mudah berkembang saat pertama kali janin bernafas/menangis. 
Pada janin yang belum matang paru- parunya namun terpaksa harus dilahirkan, maka janin berhadapan dengan risiko kesulitan bernafas akibat tidak mampunya alveolus untuk berkembang, sehingga meningkat pula risiko kematian bayi
 
Efek Samping Suntikan Pematangan Paru
Pada umumnya tidak ada resiko atau efek samping dari suntikan pematangan paru tersebut. Justru pada janin yang beresiko dan tidak dilakukan prosedur ini, dapat terjadi bahaya komplikasi sindroma gawat napas hingga kematian. 

Intra Uterine Growth Retardation-Gangguan Tumbuh Kembang Janin/IUGR

IUGR (Intra Uterine Growth Retardation)
Definisi menurut WHO (1969), janin yang mengalami pertumbuhan yang terhambat adalah janin yang mengalami kegagalan dalam mencapai berat standard atau ukuran standard yang sesuai dengan usia kehamilannya. Pertumbuhan Janin Terhambat atau Intra Uterine Growth Restriction adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan nutrisi dan pertumbuhan janin yang mengakibatkan berat badan lahir dibawah batasan tertentu dari usia kehamilannya.
Definisi yang sering dipakai adalah bayi-bayi yang mempunyai berat badan dibawah 10 persentil dari kurva berat badan bayi yang normal. Dalam 5 tahun terakhir, istilah Retardation pada Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) telah berubah menjadi Restriction oleh karena Retardasi lebih ditekankan untuk mental.
Menurut Gordon, JO (2005) pertumbuhan janin terhambat-PJT (Intrauterine Growth Retardation) diartikan sebagai suatu kondisi dimana janin berukuran lebih kecil dari standar ukuran biometri normal pada usia kehamilan. Kadang pula istilah PJT sering diartikan sebagai kecil untuk masa kehamilan-KMK (small for gestational age). Umumnya janin dengan PJT memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10. Artinya janin memiliki berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang sama. Janin dengan PJT pada umumnya akan lahir prematur (<37 minggu) atau dapat pula lahir cukup bulan (aterm, >37 minggu).

Etiologi IUGR
1. Faktor Ibu
a. Penyakit hipertensi (kelainan vaskular ibu).
Pada trimester kedua terdapat kelanjutan migrasi interstitial dan endotelium trophoblas masuk jauh ke dalam arterioli miometrium sehingga aliran menjadi tanpa hambatan menuju retroplasenter sirkulasi dengan tetap. Aliran darah yang terjamin sangat penting artinya untuk tumbuh kembang janin dengan baik dalam uterus. Dikemukakan bahwa jumlah arteri-arterioli yang didestruksi oleh sel trophoblas sekitar 100-150 pada daerah seluas plasenta sehingga cukup untuk menjamin aliran darah tanpa gangguan pada lumen dan arteri spiralis terbuka.
Gangguan terhadap jalannya destruksi sel trophoblas ke dalam arteri spiralis dan arteriolinya dapat menimbulkan keadaan yang bersumber dari gangguan aliran darah dalam bentuk “iskemia retroplasenter”. Dengan demikian dapat terjadi bentuk hipertensi dalam kehamilan apabila gangguan iskemianya besar dan gangguan tumbuh kembang janin terjadi apabila iskemia tidak terlalu besar, tetapi aliran darah dengan nutrisinya merupakan masalah pokok.
b. Kelainan uterus.
Janin yang tumbuh di luar uterus biasanya mengalami hambatan pertumbuhan.
c. Kehamilan kembar.
Kehamilan dengan dua janin atau lebih kemungkinan besar dipersulit oleh pertumbuhan kurang pada salah satu atau kedua janin dibanding dengan janin tunggal normal. Hambatan pertumbuhan dilaporkan terjadi pada 10 s/d 50 persen bayi kembar.
d. Ketinggian tempat tinggal
Jika terpajan pada lingkungan yang hipoksik secara kronis, beberapa janin mengalami penurunan berat badan yang signifikan Janin dari wanita yang tinggal di dataran tinggi biasanya mempunyai berat badan lebih rendah daripada mereka.
e. Keadaan gizi
Wanita kurus cenderung melahirkan bayi kecil, sebaliknya wanita gemuk cenderung melahirkan bayi besar. Agar nasib bayi baru lahir menjadi baik, ibu yang kurus memerlukan kenaikan berat badan yang lebih banyak dari pada ibu-ibu yang gemuk dalam masa kehamilan. Faktor terpenting pemasukan makanan adalah lebih utama pada jumlah kalori yang dikonsumsi setiap hari dari pada komposisi dari kalori. Dalam masa hamil wanita keadaan gizinya baik perlu mengkonsumsi 300 kalori lebih banyak dari pada sebelum hamil setiap hari. Penambahan berat badan yang kurang di dalam masa hamil menyebabkan kelahiran bayi dengan berat badan yang rendah.
f. Perokok
Kebiasaan merokok terlebih dalam masa kehamilan akan melahirkan bayi yang lebih kecil sebesar 200 sampai 300 gram pada waktu lahir. Kekurangan berat badan lahir ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :
1) Wanita perokok, cenderung makan sedikit karena itu ibu akan kekurangan substrat di dalam darahnya yang bisa dipergunakan oleh janin.
2) Merokok menyebabkan pelepasan epinefrin dan norepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi yang berkepanjangan sehingga terjadi pengurangan jumlah pengaliran darah kedalam uterus dan yang sampai ke dalam ruang intervillus.

2. Faktor Anak
a. Kelainan congenital
b. Kelainan genetik
c. Infeksi janin, misalnya penyakit TORCH (toksoplasma, rubela, sitomegalovirus, dan herpes).
Infeksi intrauterine adalah penyebab lain dari hambatan pertumbuhan intrauterine.banyaktipe seperti pada infeksi oleh TORCH (toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex) yang bisa menyebabkan hambatan pertumbuhan intrauterin sampai 30% dari kejadian. Infeksi AIDS pada ibu hamil menurut laporan bisa mengurangi berat badan lahir bayi sampai 500 gram dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir sebelum terkena infeksi itu.
Diperkirakan infeksi intrauterin meninggikan kecepatan metabolisme pada janin tanpa kompensasi peningkatan transportasi substrat oleh plasenta sehingga pertumbuhan janin menjadi subnormal atau dismatur.

3. Faktor Plasenta
Penyebab faktor plasenta dikenal sebagai insufisiensi plasenta. Faktor plasenta dapat dikembalikan pada faktor ibu, walaupun begitu ada beberapa kelainan plasenta yang khas seperti tumor plasenta. Sindroma insufisiensi fungsi plasenta umumnya berkaitan erat dengan aspek morfologi dari plasenta. Parameter klinik yang dapat digunakan untuk mendeteksi PJT ketidaksesuaian usia gestasi dengan besar uterus, laju pertumbuhan terhambat, atau pertambahan berat badan ibu yang kurang. Kejadian yang terbukti dengan cara ini hanya 10-25%, sehingga perlu digabung dengan pemeriksaan dan USG Doppler.
a) Manajemen pada kasus preterm dengan pertumbuhan janin terhambat lakukan pematangan paru dan asupan nutrisi tinggi kalori mudah dicerna, dan banyak istirahat.
b) Pada kehamilan 35 minggu tanpa terlihat pertumbuhan janin dapat dilakukan pengakhiran kehamilan.
c) Jika terdapat oligohidramnion berat disarankan untuk per abdominam.
d) Pada kehamilan aterm tergantung kondisi janin jika memungkinkan dapat dicoba lahir pervaginam.

PATOFISIOLOGI IUGR
1. Kondisi kekurangan nutrisi pada awal kehamilan
Pada kondisi awal kehamilan pertumbuhan embrio dan trofoblas dipengaruhi oleh makanan. Studi pada binatang menunjukkan bahwa kondisi kekurangan nutrisi sebelum implantasi bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Kekurangan nutrisi pada awal kehamilan dapat mengakibatkan janin berat lahir rendah yang simetris. Hal sebaiknya terjadi kondisi percepatan pertumbuhan pada kondisi hiperglikemia pada kehamilan lanjut.
2. Kondisi kekurangan nutrisi pada pertengahan kehamilan
Defisiensi makanan mempengaruhi pertumbuhan janin dan plasenta, tapi bisa juga terjadi peningkatan pertumbuhan plasenta sebagai kompensasi. Didapati ukuran plasenta yang luas.
3. Kondisi kekurangan nutrisi pada akhir kehamilan
Terjadi pertumbuhan janin yang lambat yang mempengaruhi interaksi antara janin dengan plasenta. Efek kekurangan makan tergantung pada lamanya kekurangan. Pada kondisi akut terjadi perlambatan pertumbuhan dan kembali meningkat jika nutrisi yang diberikan membaik. Pada kondisi kronis mungkin telah terjadi proses perlambatan pertumbuhan yang irreversibel.

Klasifikasi IUGR

Klasifikasi IUGR / Pertumbuhan janin terhambat (PJT) yaitu:
1. PJT tipe I atau dikenal juga sebagai tipe simetris.
Terjadi pada kehamilan 0-20 minggu,terjadi gangguan potensi tubuh janin untuk memperbanyak sel (hiperplasia), umumnya disebabkan oleh kelainan kromosom atau infeksi janin.prognosisnya buruk.
2. PJT tipe II atau dikenal juga sebagai tipe asimetris.
Terjadi pada kehamilan 24-40 minggu, yaitu gangguan potensi tubuh janin untuk memperbesar sel (hipertropi), misalnya pada hipertensi dalam kehamilan disertai insufisiensi plasenta.
3. PJT tipe III adalah kelainan diantara dua tipe diatas.
Terjadi pada kehamilan 20-28 minggu,yaitu gangguan potensi tubuh kombinasi antara gangguan hiperplasia dan hipertropi sel. Misalnya dapat terjadi pada malnutrisi ibu,kecanduan obat,atau keracunan.

TANDA DAN GEJALA IUGR
1. Uterus dan janin tidak berhasil tumbuh dengan kecepatan normal selama jangka waktu 4 minggu.
2. Tinggi fundus uteri sedikitnya 2 cm lebih rendah dari pada yang di perkirakan menurut umur/ lama kehamilan .
3. Berat badan ibu semakin menurun.
4. Gerakan janin semakin berkurang.
5. Volume cairan ketuban menurun.

DIAGNOSIS IUGR
1. Faktor Ibu
Ibu hamil dengan penyakit hipertensi, penyakit ginjal dan kardiopulmonal dan pada kehamilan ganda.

2. Tinggi Fundus Uteri
Cara ini sangat mudah, murah, aman, dan baik untuk diagnosa pada kehamilan kecil. Caranya dengan menggunakan pita pengukur yang di letakkan dari simpisis pubis sampai bagian teratas fundus uteri. Bila pada pengukuran di dapat panjang fundus uteri 2 (dua) atau 3 (tiga) sentimeter di bawah ukuran normal untuk masa kehamilan itu maka kita dapat mencurigai bahwa janin tersebut mengalami hambatan pertumbuhan.

3. USG Fetomaternal
Pada USG yang diukur adalah diameter biparietal atau cephalometry angka kebenarannya mencapai 43-100%. Bila pada USG ditemukan cephalometry yang tidak normal maka dapat kita sebut sebagai asimetris PJT. Selain itu dengan lingkar perut kita dapat mendeteksi apakah ada pembesaran organ intra abdomen atau tidak, khususnya pembesaran hati. Tetapi yang terpenting pada USG ini adalah perbandingan antara ukuran lingkar kepala dengan lingkar perut untuk mendeteksi adanya asimetris PJT.

4. Doppler Velocimetry
Dengan menggunakan Doppler kita dapat mengetahui adanya bunyi end-diastolik yang tidak normal pada arteri umbilicalis, ini menandakan bahwa adanya PJT.

Hubungan Kadar Gula Darah dan Obesitas Terhadap Pola Menstruasi


BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Jumlah remaja di seluruh Indonesia tercatat lebih dari 70 juta jiwa atau 13 kali lipat dari jumlah penduduk Singapura. Jumlah remaja di Indonesia yang bertambah banyak itu seringkali diikuti berbagai macam situasi memprihatinkan, salah satunya adalah obesitas. Prevalensi remaja yang mengalami obesitas dan kegemukan di Indonesia semakin meningkat. Berdasarkan Himpunan Studi Obesitas Indonesia (2004), menyebutkan obesitas pada pria Indonesia mencapai 9,16 persen, sedangkan pada perempuan sekitar 11,2%. Pada tahun 2007, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, tingkat obesitas pada remaja (usia 15-24 tahun) pada tahun 2007 bahkan mencapai 19,1%.

Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan 14% anak di bawah lima tahun di Indonesia mengalami obesitas. Tingkat obesitas tertinggi terjadi di Ibu Kota, yakni mencapai 19,6 %, disusul Sumatera dengan angka 18,3 %.

Kelebihan berat badan di usia remaja tidak hanya membuat remaja mendapat “stigma” dari teman-teman, tetapi juga membuat lebih rentan terkena masalah serius di kemudian hari (Detik News, 2009).

Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kelebihan berat badan cenderung mengalami obesitas di usia dewasa. Obesitas berkaitan erat dengan tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah serta peningkatan resiko terkena diabetes yang ditandai oleh kadar gula darah (KGD) yang tinggi, hipertensi, stroke, dan penyakit jantung yang berujung pada kematian dini.

Obesitas telah lama dikaitkan dengan masalah ketidaksuburan (infertilitas). Kini sebuah penelitian yang dipublikasikan di Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, telah menemukan hubungan antara kedua faktor tersebut. Perubahan lingkungan di sekitar ovarium sebelum ovulasi, ditemukan sebagai faktor penyebab infertilitas pada perempuan yang obesitas. Karakteristik indung telur dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka berkembang dalam ovarium yang ditandai dengan tidak teraturnya pola menstruasi.

Peneliti bermaksud mencari keterkaitan antara kadar gula darah, obesitas dan pola menstruasi. Orang yang obesitas berisiko mengalami kadar gula yang tinggi (hiperglikemia/ diabetes). Obesitas dan diabetes dapat mempengaruhi fungsi reproduksi remaja (mahasiswa) yaitu mengakibatkan ketidakteraturan pola menstruasi yang dalam jangka panjang dapat mengakibatkan infertil. Kesehatan adalah hak semua orang yang harus dipertahankan, mengingat dampak panjangnya terhadap kehidupan seorang perempuan maka peneliti tertarik, mengangkat fenomena ini menjadi sebuah Karya Tulis Ilmiah dengan judul : “ Hubungan Kadar Gula Darah dan Obesitas terhadap Pola Menstruasi".

Wednesday, April 1, 2015

Keluarnya Darah Setelah Masa Nifas Berakhir

Semua wanita akan mengeluarkan darah selama dan setelah proses persalinan. Tetapi karena jumlah darah yang ada di dalam tubuh anda meningkat sekitar 50% selama masa kehamilan, tubuh anda sudah siap ketika menghadapi keluarnya darah secara normal setelah persalinan.

Inilah yang terjadi: Ketika placenta memisahkan diri dari uterus, beberapa pembuluh darah yang terputus mulai mengeluarkan darah ke area uterus. Setelah plasenta keluar dari vagina, uterus akan terus berkontraksi sehingga pembuluh darah menjadi tertutup dan pendarahan yang terjadi pun akan semakin berkurang. Jika anda melakukan persalinan dengan metode pembedahan, anda juga akan mengalami pendarahan di bagian tersebut sampai luka bekas operasinya dijahit.

Dokter, perawat atau bidan yang membantu kelahiran anda mungkin akan memberikan pijatan pada bagian uterus anda dan memberikan oxytocin sintetis (pitocin-untuk merangsang kontraksi) untuk membantu uterus berkontraksi. Aktivitas menyusui, dimana oxytocin alami (hormon oksitosin yang salah satu perannya pasca persalinan yaitu merangsang rahim untuk berkontrasi untuk mengeluarkan plasenta, juga hormon ini berfungsi mengembalikan rahim ke bentuk semula) akan diproduksi oleh tubuh anda, juga akan membantu uterus anda untuk berkontraksi (Itu sebabnya anda mungkin akan merasakan kram saat sedang menyusui bayi).
Terkadang, uterus juga bisa saja tidak terkontraksi dengan baik setelah persalinan sehingga menyebabkan pendarahan yang hebat.

Locia merujuk pada keluarnya cairan vagina selama masa postpartum. (Istilah ini sendiri diambil dari bahasa Yunani yang artinya “berkaitan dengan persalinan.”) Locia terdiri dari darah, jaringan yang terkelupas dari pinggiran uterus dan bakteri.

Beberapa hari setelah melahirkan, lochia mengandung darah dalam jumlah yang cukup yang banyak, sehingga lochia akan terlihat merah dan terlihat seperti saat anda sedang dalam periode menstruasi. Keluarnya lochia mungkin juga hanya sedikit demi sedikit melalui semburan kecil atau aliran yang lebih merata. Jika anda berbaring dalam waktu yang cukup lama dan darah sudah terkumpul di dalam vagina anda, anda mungkin akan melihat semacam gumpalan kecil ketika anda bangun.

Jika semua prosesnya berjalan dengan normal, cairan yang keluar akan semakin berkurang tiap harinya, dan sekitar dua atau empat hari setelah melahirkan, lochia akan terlihat lebih encer dan berwarna lebih muda. Dan sekitar 10 hari setelah melahirkan, seharusnya anda hanya akan mendapatkan cairan yang berwarna putih atau putih kekuningan dalam jumlah yang sedikit, yang biasanya terdiri dari sel darah putih dan sel-sel yang berasal lapisan rahim.

Keluarnya lochia akan semakin lambat dari hari ke hari sebelum benar-benar berhenti, proses ini biasanya berlangsung selama 2 sampai 4 minggu, meskipun beberapa perempuan mungkin akan terus mengalami lochia atau mendapatkan sedikit bercak beberapa minggu lebih lama dari yang seharusnya. Jika anda mengkonsumsi pil pengontrol kehamilan atau menggunakan KB suntik, anda akan mendapatkan bercak-bercak selama satu bulan atau lebih, dan ini merupakan hal yang normal.

Di masa-masa awal, gunakan pembalut yang besar dan tebal yang biasanya diberikan oleh rumah sakit dimana anda melakukan persalinan, jika anda belum menyediakan stok pembalutnya di rumah, anda bisa membelinya lagi setelah anda diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Ketika keluarnya lochia semaking berkurang, anda bisa mengganti pembalut yang anda pakai dengan pembalut yang lebih tipis. Jangan menggunakan pembalut model tampon setidaknya selama 6 minggu ke depan, karena hal ini dapat menyebabkan infeksi di masa-masa penyembuhan vagina dan uterus anda.

Sering-seringlah buang air kecil, meski anda tidak merasakan adanya dorongan untuk buang air kecil. Beberapa hari setelah melahirkan, kandung kemih anda mungkin akan berkurang sensitifitasnya dibandingkan ketika anda berada dalam keadaan normal, sehingga anda mungkin tidak akan merasakan keinginan untuk buang air kecil meskipun kandung kemih anda sudah cukup penuh. Kandung kemih yang penuh selain dapat menimbulkan beberapa masalah, juga dapat membuat uterus anda menjadi sulit untuk berkontraksi sehingga membuat anda merasa kesakitan dan mengalami pendarahan.

Beristirahatlah dengan cukup. Karena jika anda terlalu banyak melakukan aktifitas, anda bisa mengalami pendarahan dalam waktu yang lebih lama atau mulai mendapatkan pendarahan lagi setelah lochia yang anda alami mulai melambat atau bahkan berhenti.

Ketika bercak merah mulai muncul lagi setelah jumlah lochia yang keluar mulai berkurang, ini bisa menandakan bahwa anda harus memiliki waktu istirahat yang lebih banyak. Namun jika anda terus mendapatkan bercak-bercak ini setelah mengurangi aktifitas selama beberapa hari, anda harus segera berkonsultasi dengan bidan atau dokter kandungan anda.

Jangan menunda-nunda untuk menemui dokter atau bidan anda ketika pendarahan yang alami semakin bertambah hebat, atau:
Lochia yang anda alami 4 hari setelah melahirkan masih berwarna merah terang
Lochia yang keluar dari vagina anda berbau busuk atau diikuti dengan demam atau panas dingin
Pendarahan yang keluar sangat berlebihan dan abnormal (misalnya seperti mengganti pembalut setiap satu jam atau adanya gumpalan darah yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bola golf). Inilah tanda dari pendarahan postpartum akhir yang memerlukan penanganan secepatnya.



Tuesday, March 31, 2015

Amnion/Cairan Ketuban


Amnion (cairan ketuban) adalah cairan yang bening agak kekuning-kuningan yang mengelilingi bayi yang belum lahir (janin) selama kehamilan. Cairan ini terkandung dalam kantung ketuban.
Pengertian Air Ketuban adalah cairan amnion, adalah cairan yang terdapat dalam ruangan yang diliputi selaput janin. Bobot jenis cairan ini sekitar 1.080 Makin tua kehamilan, makin turun berat jenisnya, hingga menjadi 1.025-1.010

Di dalam rahim, bayi mengapung dalam cairan ketuban. Cairan ketuban mengelilingi dan mendukung bayi dalam seluruh perkembangannya. Jumlah cairan ketuban terbesar adalah sekitar 34 minggu kehamilan.

Cairan ketuban terus bergerak (beredar) saat bayi menelan dan menghirup cairan, dan kemudian melepaskan atau menghembuskan cairan melalui urin.

Fungsi Cairan Ketuban
  1. Sebagai pelindung yang akan menahan janin dari trauma akibat benturan.
  2. Melindungi dan mencegah tali pusat dari kekeringan, yang dapat menyebabkannya mengerut sehingga menghambat penyaluran oksigen melalui darah ibu ke janin.
  3. Berperan sebagai cadangan cairan dan sumber nutrien bagi janin untuk sementara.
  4. Memungkinkan janin bergerak lebih bebas, membantu sistem pencernaan janin, sistem otot dan tulang rangka, serta sistem pernapasan janin agar berkembang dengan baik.
  5. Menjadi inkubator yang sangat istimewa dalam menjaga kehangatan di sekitar janin. 
  6. Selaput ketuban dengan cairan ketuban di dalamnya merupakan penahan janin dan rahim terhadap kemungkinan infeksi.
Pada waktu persalinan, air ketuban dapat meratakan tekanan atau kontraksi di dalam rahim, sehingga leher rahim membuka.
Dan saat kantung ketuban pecah, air ketuban yang keluar sekaligus akan membersihkan jalan lahir.

Pada saat kehamilan, air ketuban juga bisa digunakan untuk mendeteksi kelainan yang dialami janin, khususnya yang berhubungan dengan kelainan kromosom.
Kandungan lemak dalam air ketuban dapat menjadi penanda janin sudah matang atau lewat waktu.

Ternyata, mulai dari awal kehamilan sampai dengan trimester kedua kehamilan, air ketuban ini akan nampak terang, jernih, dan mungkin agak kekuningan. Namun, kalau sudah di trimester ketiga kehamilan, air ketuban berubah menjadi terang sekali, benar-benar tidak ada warnanya.

Sekitar kurang lebih mulai minggu ke 33 sampai dengan minggu ke 34, cairan ketuban berubah menjadi agak sedikit keruh. Perubahan ini tentunya secara perlahan-lahan, dan tidak langsung begitu saja. Barulah sekitar minggu-minggu ke 36 sampai dengan minggu ke 37, perubahan ini terjadi relatif lebih cepat.

Dalam kurun waktu kehamilan tidak hanya secara fisik anda yang mengalami perubahan akan tetapi beberapa faktor seperti komposisi air ketuban mengalami perubahan sesuai dengan usia.

Selama kehamilan anda akan mengalami jumlah air ketuban bahkan pada usia kandungan memasuki usia 25 minggu jumlah air ketuban rata rata adalah 239 ml sedangkan pada usia kehamilan 33 minggu rata rata meningkat menjadi 984 ml.

Air ketuban menjadi poin penting selama kehamilan begitu juga saat memasuki persalinan. Pada saat persalinan air ketuban abnormal akan mengakibatkan kondisi kesehatan bayi memburuk.

Warna Cairan Ketuban
Warna air ketuban sebenarnya tak berbeda dengan warna air biasa, yakni jernih. Kalau ada perubahan warna, semisal hijau atau merah kecokelatan, patut dicurigai ada yang tak beres pada janin. Kemungkinan akibat infeksi, terjadi kebocoran/pecah ketuban, atau hal lain yang bersifat fatal.

Tingkat keparahan gangguan, bisa “terbaca” dari gradasi warna yang terbentuk. Semakin pekat dan keruh warnanya, tentu kian besar pula ancaman pada kesejahteraan janin. “Kalau hijau kental, misalnya, kemungkinan besar janin sudah buang air besar (BAB) di dalam rahim. Harus dilihat lagi, apakah janin mengalami stres karena berkurangnya suplai oksigen atau melemahnya otot-otot sfingter yang mengelilingi saluran pembuangan. Sebab dalam keadaan normal bayi, belum BAB di dalam rahim jika memang tak ada stres.”

Karena itulah, bila air ketuban berwarna keruh, paramedis yang menangani persalinan harus segera bertindak. Sayangnya, warna air ketuban baru dapat terlihat saat persalinan dan sama sekali tak bisa “diintip” selagi janin masih dalam kandungan.

Saat pembukaan dua dan ketahuan air ketuban berwarna hijau kental, misalnya, dokter harus segera memutuskan untuk menempuh tindakan sesar karena itu menandakan gawat janin yang semakin besar risikonya bila harus berlama-lama mengikuti proses melahirkan secara spontan. Belum lagi bila ada kemungkinan persalinan macet atau lainnya.

Begitu juga bila air ketuban berwarna merah. “Itu pertanda ada perdarahan, entah karena ari-ari lepas maupun perdarahan karena sebab lain. Sedangkan bila warna air ketuban bernuansa cokelat kehitaman biasanya bayi sudah meninggal dalam rahim. “Sebetulnya, ibu sudah bisa mengantisipasi keadaan ini lewat gerakan janin. Memasuki usia kehamilan 28 minggu, contohnya, minimal 10 kali gerakan per hari. Jika kurang dari itu atau malah tidak bergerak sama sekali, ibu bisa langsung berkonsultasi ke dokter.

Penyebab Ketuhnya Cairan Ketuban
Salah satunya dalam beberapa kasus ditemukan adanya air ketuban yang keruh yang dapat mengakibatkan gangguan pada saat persalinan. Air ketuban keruh dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah infeksi yang terjadi selama kehamilan, kehamilan yang lebih dari waktu persalinan, terjadinya gangguan pada janin.

1. Infeksi
Infeksi yang terjadi selama kehamilan dapat disebabkan karena air ketuban pecah disebabkan oleh infeksi sehingga harus segera dilakukan persalinan, apabila tidak segera diberikan penanganan dikhawatirkan akan mengakibatkan gangguan pada bayi anda.

2. Kehamilan yang melebihi 42 minggu
Sedangkan untuk hamil yang melewati waktu berhubungan dengan kelahiran normal yang harusnya terjadi 37 hingga 42 minggu. Bagi ibu hamil yang melewati masa tersebut biasanya disebut over pregnancy sehingga apabila melewati usia 42 minggu plasenta akan lebih tua dan tidak berfungsi seperti mestinya menyebabkan kekurangan pasokan oksigen pada bayi. Hal ini meningkatkan resiko ketuban pecah dini dan terjadi infeksi pada bayi, selain itu
dapat mengakibatkan air ketuban menjadi berwarna hijau keruh.

3. Gangguan pada janin
Selanjutnya penyebab dari bahaya air ketuban keruh adalah gangguan pada janin. Salah satu kasus yang dapat diambil adalah kurangnya pasokan oksigen dari sang ibu dikarenakan gangguaan kesehatan seperti asma atau terjadi karena gangguan dari pergerakan bayi yang terlalu aktif mengakibatkan tali pusar melilit sehingga mengakibatkan bayi stress. Bayi yang stress akan mengeluarkan mekonium yaitu feses yang dihasilkan oleh bayi yang baru lahir. Terjadinya mekonium di dalam kandungan mengakibatkan air ketuban menjadi hijau keruh. Air ketuban memang sangat befungsi ketika kehamilan dan menjelang persalinan akan tetapi apabila sudah melalui masa hamil (37-42 minggu) dan bayi masih di dalam kandungan akan berbahaya. Air ketuban yang mencemari disaat persalinan berlangsung dikenal dengan istilah medis Meconium Aspiration syndrome (MAS). Air ketuban keruh yang berwarna hijau bahkan hingga berwarna hitam akan mengakibatkan gangguan kesehatan pada bayi apabila tidak segera ditangani. Ciri ciri bayi yang megalami keracunan air ketuban adalah dengan mengalami penuaan pada kulit seperti keriput kemudian kukunya memanjang dan adanya cairan pada paru-parunya.

Lakukan pencegahan agar air ketuban terjaga dengan baik yaitu dengan mengkonsumsi air kelapa muda dikarena kandungan nutrisi yaitu kandungan elektrolit yang dapat membersihkan rahim terutama dalam menjaga kestabilan air ketuban.

Komposisi Cairan Ketuban
1. Terdiri dari 98% air
2. Bahan padat lain 2% yang terdiri dari: a) Elektrolit, derifat protein (kreatinin, ureum, dan asam urat), glukosa, lemak, dan lemak protein (fosfolipid dan kolesterol) b) Hormon (HCG, Hpl, Estrogen, Progesteron, Prolaktin) c) Enzim (seluruh enzim dalam tubuh manusia) d) Pigmen ( bilirubin pada awal kehamilan yang akan menghilang saat hepar menjadi matang) e) Bahan-bahan dari janin seperti rambut, verniks.

Pengaruh MSG Terhadap Kesehatan Reproduksi

Monosodium Glutamat atau yang biasa disingkat MSG memiliki peran sebagai bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan ini sangatlah sering digunakan oleh manusia sebagai pembuat rasa lezat pada makanan.

Asam glutamat merupakan unsur pokok dari protein yang secara alami terdapat pada bermacam-macam sayuran, seperti tomat, kacang polong, dan kentang, serta daging, ikan, susu, dan keju. Pembuatan monosodium glutamat secara sintetis lah yang memicu penggunaan zat ini secara besar-besaran dalam industri makanan. Produksi MSG menurut WHO dapat mencapai 200.000 ton per tahunnya.

Namun sayang banyak orang yang menggunakan MSG dengan tidak memperkirakan banyaknya takaran yang diperlukan untuk memperlezat masakannya. Hal itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan efek dari penggunaan MSG yang berlebihan, salah satunya ialah organ reproduksi.

Monosodium glutamat diturunkan dari glutamat, sebuah asam amino yang ditemukan pada semua pangan yang mengandung protein, dan merupakan salah satu komponen terbesar dan penting dari protein. Asam amino glutamat terjadi seara alami pada pangan yang mengandung protein seperti keju, susu, daging, ikan, jamur, dll. Glutamat juga diproduksi oleh tubuh manusia dan vital untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi otak.

Rata-rata orang dewasa mengkonsumsi 11 g asam amino glutamat/hari dari sumber protein alami dan kurang dari 1 g/hari dari MSG. Sebaliknya tubuh kita menghasilkan 50 g/hari yang digunakan komponen metabolisme yang vital.

Asam glutamat secara alami berperan penting dalam produksi energi, sintesis urea, sintesis glutation, dan sebagai neurotransmitter (sinyal perantara sel saraf), dan merupakan asam amino utama dalam mitokondria sel. Walaupun zat ini penting untuk metabolisme dan produksi berbagai macam asam amino serta proses-proses penting dalam tubuh, penggunaan monosodium glutamat sintesis yang berlebihan terbukti berpengaruh buruk terhadap otak. Pada tahun 1968 dalam jurnal kedokteran New England Journal of Medicine dilaporkan mengenai penyakit sindrom restoran Cina, dimana penderita memperlihatkan gejala-gejala seperti rasa panas, rasa tertusuk di wajah dan leher, dada sesak, dan lain-lain. Penggunaan MSG memang sangat umum pada masakan-masakah khas Cina yang disajikan di restoran Cina saat itu. Percobaan pada mencit muda membuktikan bahwa pemberian MSG lewat oral atau suntikan dapat menyebabkan adanya lesi pada otak mencit serta menyebabkan gangguan pengaturan hormon. Berdasarkan rekomendasi WHO, MSG aman digunakan dalam makanan sehari-hari paling banyak 6 mg/kg berat badan manusia dewasa, yang berarti penggunaannya kira-kira tidak boleh lebih dari 2 gram per hari, sedangkan di negara Asia rata-rata penggunaan MSG sebanyak 3 gram per hari. Hal ini perlu diwaspadai karena penggunaan MSG dengan kadar seperti berrisiko menimbulkan alergi dan memperberat penyakit asma. Sedangkan terhadap system reproduksi wanita, pengaruh MSG terutama berdampak pada kerja dua hormone yang sangat penting dalam sistem reproduksi wanita, yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone).

FSH, yang dilepaskan ke dalam aliran darah oleh rangsangan dari hormon GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone), menyebabkan sel-sel telur di dalam ovarium tumbuh. Sel telur yang matang memberikan umpan balik ke kelenjar hipofisis untuk memproduksi LH, yang akan membantu pengeluaran sel telur dari folikelnya (proses yang dinamakan ovulasi) dan mengubah folikel kosong ini menjadi korpus luteum, yang berfungsi memproduksi hormon progesteron, untuk mempersiapkan otot rahim (endometrium) menjadi tempat perlekatan sel telur yang telah dibuahi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meneliti efek dari MSG terhadap sistem reproduksi, antara lain penelitian oleh Redding T (1971) yang mengungkapkan bahwa MSG menurunkan kadar GnRH dan LH pada mencit, atau penelitian oleh Lamperti dkk (1976 dan 1977) yang membuktikan bahwa MSG menyebabkan lesi otak yang menghambat perkembangan folikel dalam ovarium mencit serta menurunkan kadar FSH dan LH dalam darah. Penelitian-penelitian lain juga mengungkapkan efek buruk dari pemberian MSG terhadap kesehatan reproduksi, antara lain menyebabkan kerusakan sel saraf, pengurangan berat kelenjar penghasil hormon (endokrin), pemanjangan siklus estrus, pengurangan berat testis, penurunan jumlah folikel, penuaan sel telur, dan pengurangan reseptor hormon estrogen, sehingga sel menjadi kurang sensitif terhadap hormon estrogen. Penelitian terbaru tahun 2007 juga menunjukkan adanya degenerasi sel dengan pemberian MSG 6 gram dan kemungkinan perannya sebagai racun bagi sel telur dan folikel di ovarium.

Terkait masalah etik, memang belum ada penelitian menyeluruh mengenai efek MSG pada reproduksi manusia. Namun dari berbagai hasil penelitian pada binatang di atas, tidaklah berlebihan jika kita lebih hati-hati dalam menggunakan MSG pada makanan sehari-hari, karena kemungkinan efek buruk terhadap sistem reproduksi yang dapat mempengaruhi kesuburan pria maupun wanita.

Selama tiga puluh tahun, para ahli dan peneliti telah menggunakan MSG dalam eksperimen mereka dengan tujuan membuat uji obese dan pre-diabetic, stroke ischemic, dan menghancurkan jaringan sel in vivo dan in vitro. Jumlah penelitian yang menggunakan MSG untuk menyebabkan efek negatif dalam orang yang diuji yang jumlahnya di atas 1000, dipublikasikan dalam berbagai jurnal medikal dan sains dalam banyak negara berbeda. Monosodium glutamat yang ditambahkan ke dalam makanan telah ditunjukkan untuk meningkatkan keinginan orang yang diuji untuk makan lebih cepat dan lebih sering.

Terdapat banyak bukti bahwa tidak hanya peningkatan obesitas dan diabetes manusia yang dihubungkan pada pemakaian monosodium glutamat, tapi peningkatan keautisan dan penyakit Attention deficit hyperactive juga. Dari berbagai bukti yang menunjukkan efek-efek yang disebabkan oleh bahan tambahan pangan Monosodium glutamat, Joint Food and Agriculture Committee/World Health Organization Experti Committe on food Additive telah diminta untuk menghapus monosodium glutamat (dan bahan-bahan yang mengandung MSG) dari daftar bahan tambahan pangan yang diperbolehkan, dan juga dari vaksin.

Pemakaian MSG Oleh Manusia

Secara oral

Monosodium glutamat ditemukan dalam jumlah tak terbatas dalam beragam makanan. MSG juga ditambahkan dalam jumlah tak terbatas di restoran dan industri makanan seperti rumah sakit, rumah jompo dan kafetaria. Karena prosesor makanan dan pabrik tidak harus mencantumkan jumlah MSG pada packaging mereka, kita tidak punya cara untuk mengetahui seberapa banyak orang normal atau anak akan mengkonsumsinya sehari-hari. Menurut penelitian industri 0.6 % MSG yang ditambahkan pada makanan adalah optimal untuk membuat orang makan dengan banyak dan cepat (Bellisle, 1991). Jika ini adalah kasusnya, sebanyak 6 % makanan harian orang terbuat dari MSG. Dalam 2 kg pemakaian harian dari makanan, dewasa atau anak akan menerima 12 g dosis monosodium glutamat. Dosis 12 g MSG adalah lethal bagi satu kilogram tikus. JECFA Toxicology Study, FAO Nutrition Meetings Report Series, 1974, No. 53

Subcutaneously

Walaupun sebelumnya JECFA telah tidak memperbolehkan MSG dalam makanan bagi bayi dan mereka yang masih berumur di bawah satu tahun, banyak bayi dan anak-anak yang menerima dosis MSG dalam berbagai vaksinasi.

Transmisi udara

Sekarang MSG sudah mulai disemprotkan pada pertanian dan bisa menjadi airborne. Walaupun Codex tidak memperbolehkan penambahan MSG pada buah-buahan segar dan sayuran (GFSA Annex pada Tabel 3) Auxigro, dengan 30 % kandungan MSG, telah disetujui oleh beberapa negara untuk disemprotkan pada pertanian buah-buahan segar dan sayuran. Efek Airborne dari penyemprotan MSG masih belumm diteliti oleh JECFA.

Aspek Biologis

Monosodium glutamat adalah sebuah asam amino yang siap digunakan oleh reseptor glutamat di seluruh tubuh mamalia. Reseptor-reseptor glutamat ini terdapat dalam sistem syaraf pusat sebagai mediator utama dari eksitatori neurotransmisi dan eksitotoksitas. Kelainan neural dihubungkan dengan trauma, stroke, epilepsi, dan banyak penyakit degeneratif syaraf seperti penyakit Alzheimer, Huntington, dan Parkinson dan amyotrophic lateral sclerosis dapat dimediasi oleh aktivasi berlebih dari reseptor glutamat. Neurotoksisitas dihubungkan dengan eksitatori asam amino yang terdapat dalam makanan, seperti monosodium glutamat, juga telah dihubungkan dengan reseptor glutamat. Reseptor-reseptor glutamat ditemukan pada hati monyet dan tikus, sistem gerak, ujung syaraf, dan cardiac ganglia. Mereka juga terdapat di ginjal, hati, paru-paru, spleen, dan testis. Sehingga, pihak keamanan pangan harus menganggap jaringan-jaringan ini sebagai lahan target potensial.

MSG Meningkatkan Nafsu Makan

MSG yang ditambahkan pada makanan domba telah menghasilkan peningkatan nafsu makan dari domba. Domba dengan oesophageal fistulas digunakan dalam eksperimen sham-feeding untuk melihat bagaimana pemasukan sham dipengaruhi oleh penambahan monosodium glutamat (MSG) ke bermacam-macam makanan straw untuk domba.

MSG pada 5-40 g/kg straw meningkatkan pemasukan sham sebanyak 146% (P = 0.04) dan 164% (P = 0.01). Penemuan ini mengindikasikan bahwa pemasukkan makanan dengan kualitas rendah dapat ditingkatkan dengan memperbaiki palatabilitas mereka dengan MSG.

Terdapat hubungan yang dapat ditemukan dalam tes dengan subyek manusia: dua penemuan dengan MSG dan nafsu makan manusia ditemukan:

Ketika subyek manusia memakan makanan yang mengandung MSG, mereka cepat menjadi lapar lagi.

Manusia akan makan lebih banyak makanan yang ditambahkan dengan MSG daripada kontrol makanan yang tidak mengandung MSG.

Subyek mengkonsumsi preload sup dengan ukuran yang tepat yang mengandung konsentrasi monosodium L-glutamat yang berbeda. Efek pada nafsu makan berdasarkan preload-preload ini, dan ketika tidak ada sup yang dikonsumsi, dipelajari dalam tiga penelitian. Penemuan yang paling penting tentang MSG menunjukkan bahwa motivasi untuk makan kembali dengan lebih cepat menurut makanan makan siang di mana sup yang disuplementasi MSG disediakan.

Efek MSG pada palatabilitas dari dua makanan eksperimen diinvestigasi pada 36 laki-laki dan perempuan muda yang sehat. MSG memperbaiki tingkat palatabilitas, dengan nilai optimal 0.6 %. Test mingguan dari pemasukan menunjukkan bahwa subyek yang makan makanan eksperimen dengan kandungan 0.6 % MSG makan dengan cepat dan lebih cepat, mengindikasikan peningkatan palatabilitas dengan percobaan berulang. MSG memfasilitasi beberapa pemasukan tapi tidak semua makanan target, dan diasosiasikan dengan menguntungkan (peningkatan pemasukan calsium dan magnesium) atau merugikan (peningkatan pemasukan lemak) efek nutrisi. Dapat disimpulkan bahwa MSG dapat bertindak sebagai peningkat palatabilitas dalam konteks French diet.

MSG Menyebabkan Diabetes

Bahan tambahan pangan Monosodium Glutamat digunakan dengan tujuan membuat tikus penderita diabetes. Penderita diabetes meningkat setiap tahunnya, dan model hewan baru dibutuhkan untuk mempelajari aspek dari penyakit ini. Model hewan gemuk eksperimen dilaporkan telah didapatkan dengan menyuntikan monosodium glutamat pada seekor tikus. Ditemukan bahwa tikus ICR-MSG dimana metode yang sama digunakan, mengembangkan glycosuria. Kedua-duanya tikus betina dan jantan diobservasi jadi obes tapi tidak memiliki polyphagia, dan glycosuric setelah 29 minggu, dengan jantan mendapat insiden tingkat tinggi (70.0%). Konsentrasi glukosa, insulin, total kolesterol, dan trigliserida dalam darah lebih tinggi pada tikus kontrol di minggu 29. konsentrasi tinggi ini lebih sering muncul pada jantan yang lebih muda dari pada pada betina, dan parah pada jantan dewasa. Juga, tikus pada 54 minggu menunjukkan obesitas yang jelas dan meningkat konsentrasi glukosa, insulin, dan total kolesterolnya dalam darah.

Peneletian patologi tikus ICR-MSG jantan dan betina pada minggu ke 29 menunjukkan hipertropi pancreatic islet. Ini juga diobservasi hampir pada semua tikus-tikus ini pada minggu ke 54. Hal ini dikenali sebagai kelanjutan dari kondisi diabetes mellitus. Dari hasil di atas, tikus-tikus ini dianggap berguna sebagai hewan model eksperimen yang baru yang mengembangkan obesitas tipe 2 tingkat tinggi (non-insulin) diabetes mellitus tanpa polyphagia.

Tidak semua spesies tikus jadi obes dengan pemasukan MSG, beberapa di antaranya hanya mendapat diabetes. Hamster china yang baru lahir yang diinjeksikan dengan MSG menunjukkan tidak adanya tanda obesitas, bahkan saat tumbuh dewasa, tapi justru mengembangkan sindrom diabetes.

MSG Melintasi Placenta Membahayakan Janin

MSG terlihat dapat melintasi penghalang placenta dalam tikus, dan penelitian baru membuktikan bahwa dalam kasus di mana ibu manusia yang menderita infeksi intrauterine beresiko memiliki bayi yang mengalami kerusakan otak perinatal eksitotoksik yang disebabkan oleh glutamat.

Monosodium-L-glutamat yang diberikan subcutaneously pada tikus hamil menyebabkan necrosis akut dari neuron acetylcholinesteras-positif dalam area postrema. Efek yang sama telah ditemukan pada area postrema dari janin tikus. Proses kematian sel neuron dan eliminasi dari debris oleh sel microglia dibuktikan sama pada hewan-hewan hamil dan janin mereka. Bagaimanapun, neuron embrio jauh lebih sensitif atas glutamat seperti yang telah dibuktikan dengan hubungan kecepatan proses dan respon dosis. Observasi ini meningkatkan kemungkinan peracunan trasnplacental pada janin manusia setelah sang ibu mengonsumsi makanan yang kaya glutamat.

MSG dapat melakukan penetrasi pada penghalang placenta dan mendistribusi hampir di antara jaringan-jaringan embrio. MSG juga dapat menyebabkan kematian neuron yang dapat menghasilkan pengurangan kemampuan belajar dan mengingat pada tikus hamil dewasa yang diberi MSG. Disarankan bagi ibu hamil untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung monosodium glutamat dan memperhatikan kebali RDA dari protein dan asam amino selama kehamilan.

Evaluasi Keamanan JECFA

The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) telah melakukan dua evaluasi tentang keamanan MSG. Yang pertama dilakukan pada tahun 1971-1974, dan yang kedua dilakukan pada tahun 1987. Review ini akan memperhatikan hanya evaluasi yang paling baru (JECFA 1988). JECFA melakukan penelitian toksisitas akut, subkronik, dan kronik pada tikus, tikus kecil dan anjing, bersama-sama dengan penelitian pada tetratologi dan toksisitas reproduktif. Glutamat ditemukan memiliki toksisitas oral yang sangat rendah. LD50 bagi tikus besar dan kecil adalah sekitar 15,000 dan 18,000 mg/kg berat badan.

Penelitian subkronik sebaik penelitian kronik dengan durasi hingga 2 tahun pada tikus kecil dan tikus besar, termasuk fase reproduksi, tidak memperlihatkan efek merugikan yang spesifik pada tingkat dietary hingga 4 %. Penelitian dua tahun pada anjing pada tingkat dietary 10 % juga tidak menunukkan efek apa-apa pada penambahan berat badan, berat organ, clinical indices, kematian atau prilaku umum. Penelitian tetralogi dan reproduksi menggunakan administration oral route tidak menunjukkan efek merugikan, bahkan pada dosis tinggi.

Evaluasi JECFA juga ditujukan pada dua isu neurotoksisitas potensial, khususnya pada bayi. Eksaminasi pada neurotoksisitas potensial merupakan komponen utaa dari evaluasi keamanan, dengan laporan dari 59 penelitian terpisah pada tikus kecil, besar, hamster, anjing, kelinci, guinea pig, bebek dan primata diperhatikatn. Isu ini diberikan banyak perhatian karena laporan bahwa lesion (focal necrosis) dalam hipotalamus ditemukan berkembang pada tikus dan kelinci setelah pemberian intravenous dan subcutaneous glutamat atau setelah dosis bolus tinggi oleh gavage. Lesion neuron ditemukan dalam jam pemberian dan tikus tampak menjadi spesies yang paling sensitif. Hampir keseluruhan penelitian dengan primata yang berhubungan dengan lesion hipotalamus negatif. Dosis gavage oral yang dibutuhkan untuk memproduksi lesion adalah 1000 mg/kg berat badan sebagai dosis bolus. ED50 untuk produksi lesion hipotalamus pada tikus neonatal adalah sekitar 500 mg/kg berat badan oleh gavage, di mana dosis palatabel terbesar adalah sekitar 60 mg/kg berat badan dengan dosisi lebih tinggi menyebabkan mual. Itu disimpulkan bahwa pemasukan voluntari tidak akan melebihi level ini.

Hubungan Status Gizi Terhadap Indeks Prestasi Belajar Mahasiswa/Remaja

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan adanya persaingan pada berbagai aspek maka diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi, agar mampu bersaing dengan negara lain. Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung berpengaruh terhadap kualitas Sumber Daya Manusia disuatu negara, yang digambarkan melalui pertumbuhan ekonomi, umur harapan hidup dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi hanya dapat dicapai oleh orang yang sehat dan berstatus gizi baik (Depkes 2003).

Masalah gizi di Indonesia dan Negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kekurangan Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah Obesitas terutama di kota-kota besar ( Dewa Nyoman, dkk 2002)

Pembangunan berwawasan kesehatan adalah sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Dengan kebijakkan dan strategi ini, perencanaan dan pelaksanaan di semua sektor harus mampu mempertimbangkan dampak negatif dan dampak positifnya terhadap kesehatan bagi individu, keluarga, dan masyarakat ( Depkes RI 1999 ).

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai dengan mencapai dewasa. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dan membentuk SDM yang sehat, cerdas, dan produktif ( Depkes RI 2002 ).

Masalah gizi merupakan masalah yang perlu diperhatikan karena dapat membuat daya ingat menurun dan gangguan konsentrasi dalam belajar. Secara nasional prevalensi yang terjadi dari gangguan masalah gizi yaitu bisa membuat seseorang menderita anemia, dimana anemia yang terjadi pada remaja putri usia 15 – 19 tahun adalah 26% dan 25% pada wanita usia subur 20 – 29 tahun ( SKRT, 2010).

Hubungan Antara Pola Makan Ibu Hamil Dengan Tinggi Fundus Uteri Dan Berat Badan (Status Gizi)

BAB I 

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan menjadi bagian dari pembangunan nasional yang merupakan upaya bagi seluruh bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah dalam mewujudkan peningkatan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat setiap orang agar mencapai derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan berwawasan kesehatan adalah sebagian strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010 sehingga kebijakan dan strategi ini memiliki dampak negatif dan positif terhadap kesehatan masyarakat baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat terutama terhadap ibu hamil yang merupakan pencetus lahirnya generasi yang akan membangun bangsa dimasa depan. (Depkes RI 2000).

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kebijaksanaan umum dari tujuan nasional. Agar tujuan pembangunan dibidang kesehatan tersebut dapat terwujud, diperlukan suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dan sebagai perwujudan upaya tersebut dibentuk sistem kesehatan nasional (Budioro, 2001).

Hubungan erat antara makanan dengan kesehatan manusia telah lama diakui oleh para ahli. Pada tahun 1970, para pembuat kebijakan pembangunan di dunia menyadari bahwa arti makanan lebih luas dari sekadar untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan saja. Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia, hal mana merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi ternyata sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan produktivitas kerja manusia. Agar perencanaan upaya peningkatan status gizi penduduk dapat dilakukan dengan baik, semua aspek yang berpengaruh perlu dipelajari termasuk aspek pola makan, sosio-budaya, dan pengaruh konsumsi makanan terhadap status gizi. (Almatsier, 2001).

Asupan zat gizi sehari-hari sangat tergantung pada pola makan yang dilakukan. Jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. (Almatsier, 2003).

Pada dasarnya Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang menyebabkan perubahan keseimbangan hormonal, terutama perubahan hormon esterogen dan progesterone.keinginan untuk hamil adalah salah satu insting manusia yang paling mendasar dan paling kuat, juga dimiliki oleh semua mahluk hidup dibumi. Kenaikan berat badan pada masa kehamilan berjalan dengan perlahan dan stabil. (Charlis, 2005).

Kehamilan merupakan masa kehidupan yang penting, masa ini dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin, lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir (Prawirohardjo, 2002).

Kecepatan naiknya berat badan hampir sama pentingnya dengan jumlah kenaikan yang harus didapat. Idealnya penambahan berat badan terjadi secara perlahan dan stabil disepanjang kehamilan. Selama trimester pertama berat badan naik 1,5 sampai 2 Kg dan saat memasuki trimester kedua kehamilan, ibu hamil harus mengalami kenaikan berat badan sekitar 500 gram per-minggu atau total kenaikan sebanyak 6 sampai 7 Kg. Memasuki bulan ketujuh dan delapan, berat badan harus terus naik sekitar 500 gram per-minggu. Trimester ketiga bulan terakhir kehamilan, berat badan ibu hamil hanya boleh naik sebanyak 500 gram atau 1 Kg atau tidak naik sama sekali sehingga jumlah kenaikan selama terimester ketiga adalah 4 sampai 5 Kg. (Francis-Cheung, 2008).

Menurut Abrams dan Salvin, 1995, “Kurangnya pertambahan berat badan pada trimester II berkorelasi kuat dengan penurunan berat lahir”. (Cunningham, dkk. 2005). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan berat badan ibu hamil sendiri adalah oedema, proses metabolisme, pola makan, merokok, muntah atau diare (Salmah, 2006). Untuk batas kenormalan kenaikan berat badan ibu hamil sendiri tergantung dari indeks masa tubuh (IMT) wanita sebelum hamil (Paath, 2004). IMT adalah berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter (Hunter, 2005).

Berat badan yang didapatkan diakhir kehamilan adalah jumlah dari beberapa hal yang berbeda, kira-kira 7,5% kg, akan berhubungan langsung dengan bayi dan kebutuhannya untuk berat badan bayi, tali pusat, ketuban, otot tambahan untuk memperkuat dinding rahim, arah tambahan yang dibutuhkan bayi dan sel-sel baru untuk menyusui (Huter, 2005).

Selain peningkatan berat badan ibu hamil ada faktor lain yang dapat mempengaruhi berat badan bayi baru lahir antara lain genetik yang normal dan patologis, penyakit ibu, obstetrik dan lingkungan. Menurut National Center For Health Statistics, 2003 “Berat Badan Lahir adalah berat neonatus yang diukur segera setelah lahir atau secepatnya setelah keadaan mengijinkan”. Bayi yang kecil dan dikandung kurang dari 9 bulan lebih mengalami masa fisiologis pasca kelahiran dibandingkan dengan berat badan normal, tetapi bayi yang sangat besar (overweight) juga dapat mempersulit kelahiran (Eisenberg, 1999). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekolah kesehatan masyarakat Harvard secara dramatis menunjukkan bagaimana status kesehatan bayi pada saat lahir berhubungan erat dengan diit ibu selama kehamilan. Pada ibu-ibu yang diitnya baik sampai istimewa, 95% dari bayi balita dengan kesehatan yang tergolong baik dan istimewa, diit ibu sendiri dapat mempengaruhi berat badan ibu yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi BBL, sehingga kurangnya berat badan ibu hamil memungkinkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Eisenberg, 1996). Menurut National Center For Health Statistics 2003 “BBLR adalah berat neonatus yang pertamakali diukur setelah lahir kurang dari 2500 gr”.

Pengetahuan dan Sikap Akseptor KB tentang Kontrasepsi Pil/Masa Interval

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontrasepsi pil adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk pil atau tablet di dalam strip yang berisi gabungan hormon estrogen dan progesteron atau yang hanya terdiri dari hormon progesteron saja. Kontrasepsi adalah alat untuk mencegah kehamilan setelah berhubungan intim. Alat ini atau cara ini sifat tidak permanen, dan memungkinkan pasangan untuk mendapatkan anak jika diinginkan. KB adalah upaya untuk mengatur jumlah penduduk (Suratun, 2008).

Dimasyarakat, metode kontrasepsi hormonal tidaklah asing lagi. Hampir 70% akseptor KB menggunakan metode kontrasepsi hormonal. Namun demikian banyak juga efek samping yang dikeluhkan oleh akseptor KB yang belum memahami dengan baik bagaimana metode kontrasepsi hormonal tersebut ( Handayani Sri, 2010).

Di Indonesia, program pembangunan nasional, Keluaga Berencana (KB) mempunyai arti yang sangat penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia sejahtera, disamping progam pendidikan dan kesehatan. Paradigma baru program Keluarga Berencapna Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan ”keluarga berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah yang sejahtera,

Dinas kesehatan RI mendefinisikan KB sebagai upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pembinaan ketahanan, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. KB bisa dimulai ketika pasangan berkomitmen untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama dalam suka dan duka. KB diakhiri ketika pasangan meninggal dunia ( Mar’atul Uliyah, 2010).

Dalam masyarakat yang terbiasa minum pil ini memiliki keunggulan karena familaritas serta fleksibelitas untuk berhenti atau mulai kapan sajasesuai keinginan wanita yang akan menggunakannya. Fleksibelitas yang tinggi ini juga merupakan kekurangan utamanya, karena dosis yang rendah sama artinya dengan kecilnya batasan keamanan untuk penundaan minum pil. Pada sebagian wanita, efek pada mucus serviks sudah hilang dalam 24 jam ( Anna Glasier. 2006).

Banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya terbatasnya metode yang tersedia tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut berbagai potensi, konsekwensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan ( Saifuddin, BA, 2006).

Sekitar 0,3 % wanita yang menggunakan pil KB kombinasi sesuai instruksi bisa hamil pada tahun pertama penggunaan. Peluang terjadinya kehamilan akan semakin besar bila wanita terlewat atau lupa minum pil, terutama pada hari-hari awal pada siklus menstruasi. Dosis estrogen pada pil KB kombinasi bervariasi. Biasanya, pil KB kombinasi dengan dosis estrogen yang rendah (20-35 mikrogram). Wanita sehat yang tidak merokok dapat menggunakan pil KB kombinasi dosis rendah tanpa henti sampai menjelang menopause ( El. Manan. 2011).

Banyak wanita memilih metode hormonal sebagai kontrasepsi mereka karena metode tersebut dapat diandalkan, dengan mudah mereka dapat kembali subur, dan mereka tetap memegang kendali. Di inggris, layanan kontrasepsi yang mencakup pil kontrasepsi bebas biaya peresepan, yang memungkinkan metode ini mudah diakses oleh semua wanita ( Suzanne Everett. 2008).

Sesuai dengan keterangan di atas, maka prioritas pertama kontrasepsi yang disarankan adalah pil KB, karena pil KB termasuk metode yang efektif untuk mencegah kehamilan dan salah satu metode yang paling disukai karena kesuburan langsung kembali bila penggunaan dihentikan, serta pil KB dapat mengurangi resiko infertilitas primer hingga 40 %. Ada 2 (dua) macam kontrasepsi pil, yaitu pil kombinasi dan pil progestin. Mengingat kerja kontrasepsi oral yang multiple sulit untuk memahami bagaimana kelalaian tidak mengkonsumsi satu atau dua pil dapat menyebabkan kehamilan ( Iswarati, S.U. 2009 ).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemakaian kontrasepsi, faktor- faktor ini adalah kebudayaan/kepercayaan, kemampuan tenaga kesehatan dalam memberikan informasi, dan Pengetahuan akseptor yang kurang (BKKBN, 2004).

Hubungan Antara Pengetahuan tentang Gizi, Pola Makan Dengan Insidensi Anemia/Status Gizi Ibu Hamil/Gizi Ibu Hamil/Anemia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anemia gizi dapat disebabkan karena kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin, Vitamin E. Keadaan kurang besi adalah penyebab anemia gizi yang paling sering ditemui. Salah satu penyebab terjadinya anemia defisiensi besi adalah asupan yang tidak mencukupi. Asupan zat gizi sehari-hari sangat tergantung pada pola makan yang dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola makan remaja adalah pengetahuan gizi yang dimiliki. Remaja putri termasuk golongan rawan menderita anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan kebutuhan yaitu mereka sedang dalam masa pertumbuhanan dan setiap bulannya mengalami menstruasi yang menyebabkan kehilangan zat besi. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan belajar karena menurunnya daya konsentrasi dan daya pikir. Kekurangan zat besi juga dapat menyebabkan daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun.

Berdasarkan data terdapat sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi dan sebanyak 14% wanita yang sedang menstruasi juga mengalami anemia defisiensi besi (Dito, 2007). Volume darah yang hilang selama menstruasi berkisar antara 25-30 cc per bulan. Jumlah ini mencerminkan kehilangan zat besi sebanyak 12,5-15 mg per bulan atau 0,4-0,5 mg per hari selama 28 hari. Bila ditambah dengan kehilangan basal, kehilangan zat besi total wanita sekitar 1,25 mg per hari dan bila dihitung berdasarkan frekuensinya distribusi kehilangan darah menstruasi, dapat diketahui bahwa hanya 2,5% wanita yang membutuhkan zat besi lebih dari 2,4 mg per hari (DeMaeyer, 1993).

Hasil dari penelitian Arey (1939), yang menganalisis temuan dari 12 studi berbeda yang meneliti sekitar 20.000 catatan kalender dari 1500 wanita, menyimpulkan bahwa tidak terbukti adanya keteraturan siklus menstruasi yang sempurna (Cunningham et. al, 2006). Gunn et. al (1937), dalam suatu studi terhadap 479 wanita normal Inggris, mendapatkan bahwa perbedaan tipikal antara siklus terpendek dan terpanjang adalah 8 atau 9 hari. Pada 30% wanita, perbedaan tersebut dapat mencapai lebih dari 13 hari, tetapi tidak pernah kurang dari 2 hari pada wanita manapun (Cunningham et. al, 2006).

Jumlah darah yang keluar selama periode menstruasi normal telah dipelajari oleh beberapa kelompok peneliti yang menemukan bahwa jumlah berkisar antara 25 ml sampai 60 ml. Pada konsentrasi hemoglobin (Hb) normal yaitu 14 gr/dl dan konsentrasi besi Hb 3,4 mg/gr, volume darah ini mengandung besi sekitar 12 sampai 29 mg dan mencerminkan pengeluaran darah ekuivalen dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi setiap hari selama siklus, atau dari 150 sampai 400 mg per tahun. Karena jumlah besi yang diserap dari makanan biasanya cukup terbatas, maka pengeluaran besi yang tampaknya tidak berarti ini menjadi penting karena ikut menurunkan cadangan besi yang pada sebagian besar wanita sudah rendah (Cunningham et al, 2006). Batas kadar Hb remaja putri menurut World Health Organization (WHO 1997) untuk diagnosis anemia apabila kurang dari 12 gr/dl. Menurut Kodiyat (1995), prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia sekitar 63,5%, balita (55,5%), anak usia sekolah (20-40%), wanita dewasa (30-40%), pekerja berpenghasilan rendah (30-40%) dan pria dewasa (20-30%) (Inayati, 2006). Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia seperti kehilangan darah karena luka berat, tindakan pembedahan, menstruasi, kecelakaan, terlalu sering menjadi donor darah bahkan melahirkan. Beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan kondisi anemia adalah pola makan rendah kandungan besi dan vitamin, khususnya folat, gangguan intestinal yang akan mempengaruhi absorpsi zat-zat gizi ke dalam tubuh kondisi kehamilan dimana tubuh memerlukan asupan besi yang lebih tinggi, menstruasi, penyakit kronis, riwayat kesehatan keluarga dengan kasus anemia serta pecandu alkohol (Inayati, 2006).

Pada wanita siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari, walaupun hal ini berlaku umum tidak semua wanita memiliki siklus menstruasi yang sama, terkadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Masa sekolah biasanya lama menstruasi belum diketahui dan belum teratur (Wikipedia, 2007).

Anemia dapat terjadi pada setiap tahap kehidupan, secara statistik lebih sering didapatkan pada balita dan ibu hamil. Kebutuhan zat besi meningkat pada masa pertumbuhan atau usia balita karena pada masa itu pertumbuhan seorang anak sangat pesat (Vira, 2008). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 1995 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia sebesar 57,1%. Penelitian Wirawan (1995) di Jakarta Timur pada siswa SLTA menunjukkan prevalensi anemia sebesar 44,4%. Sedangkan Tambunan (1995) mendapatkan dari 107 siswi SLTA di Jakarta, 24,3% mengalami anemia defisiensi besi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Permaesih dkk (1990) menunjukkan bahwa persentase penderita anemia pada kelompok wanita remaja santri sebanyak 44,4%. Remaja putri lebih rawan terkena anemia dibandingkan anak-anak dan usia dewasa karena remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk besi. Remaja putri mengalami peningkatan kebutuhan besi karena percepatan pertumbuhan (growth spurt) dan menstruasi (Lynch, 2000). Selain itu, remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makan dan melakukan pantangan terhadap banyak makanan (Sediaoetomo, 1992). Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian anemia sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dreyfuss et al. (2000), adalah defisiensi vitamin A. Faktor lain, yaitu kekurangan konsumsi energi dan protein juga dapat menurunkan kadar hemoglobin dalam darah (Berger et al., 1997).

Di samping itu hasil penelitian pada wanita usia 15–49 tahun di Bangladesh menunjukkan bahwa ketersediaan besi dalam tubuh, tinggi badan, dan konsumsi tablet besi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kadar hemoglobin (Bhargava et al., 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Antelman et al. (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan indeks massa tubuh (IMT), konsumsi sayuran dan kadar serum retinol dengan anemia pada wanita usia subur. Khumaidi (1989) mengemukakan faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga yang rendah. Pendidikan orangtua menentukan kondisi ekonomi rumahtangga yang pada akhirnya mempengaruhi konsumsi keluarga (Sariningrum, 1990). Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan (Berg, 1986). Pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan tingkat konsumsi besi yang berasal dari daging, ikan, dan unggas serta makanan dari sumber hewani lainnya (Bhargava et al., 2001). Sedangkan pengetahuan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap keadaan gizi individu yang bersangkutan termasuk status anemia (Saraswati, 1997). Anemia bisa disebabkan oleh kehilangan darah, diare dan malabsorbsi, frekuensi donor darah yang sering dan konsumsi makanan yang tidak adekuat (Hui, 1985).

Di samping itu keadaan tertentu seperti kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan, menderita penyakit kronis (seperti tuberkulosis) serta kehilangan darah karena infeksi parasit (malaria dan kecacingan) akan memperberat kejadian anemia (Arisman, 2004). Akibat dari anemia pada remaja antara lain dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit, menurunkan aktivitas remaja yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar serta menurunkan kebugaran remaja, sehingga menghambat prestasi olahraga dan produktivitas. Di samping itu, anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada saat kehamilan. Menurut Yip (1998) status besi harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan anemia pada kehamilan akan dapat dikurangi. Upaya penanggulangan masalah anemia pada remaja berkaitan dengan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya anemia. oleh karena itu diperlukan informasi masalah gizi pada remaja serta fakor-faktor yang mempengaruhinya. Informasi ini sangat berguna sebagai dasar penetapan strategi program perbaikan kesehatan dan gizi pada kelompok remaja. Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus karena tingginya prevalensi anemia gizi pada ibu hamil (62,9%) berdasarkan hasil pemetaan anemia gizi di Jawa Tengah pada Tahun 1999 (Soeharyo dkk, 1999). Namun sampai saat ini belum ada data mengenai prevalensi anemia pada remaja di Kabupaten Kudus.

Monday, March 30, 2015

Determinan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah/BBLR/Kematian Neonatus



BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan pada hekekatnya merupakan penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat secara mandiri dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal serta peningkatan sumber daya manusia dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilakukan sendini mungkin, terutama sejak bayi masih dalam kandungan dan saat kelahiran yang harus dilakukan oleh seorang ibu, dan ini berpengaruh erat dengan tingkat kematian bayi.

Salah satu indikator penting untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi atau lebih dikenal dengan AKB, yaitu bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. Dibandingkan dengan indikator lainnya seperti mortalitas, AKB lebih sensitif karena sangat menggambarkan status kemajuan sosial ekonomi suatu negara di mata dunia. Sehingga beralasan bila pemerintah memberikan perhatian serius dalam bentuk berbagai program-program kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang penanggulangan kematian bayi, selain itu penurunan angka kematian bayi merupakan salah satu target utama Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yaitu 23 per 1.000 kelahiran hidup.1

Menurut WHO tahun 2007, BBLR disebabkan oleh 7 (tujuh) faktor yaitu : genetik (faktor gen, interaksi lingkungan, berat badan ayah, jenis kelamin), kecukupan gizi (nutrisi ibu ketika hamil, kecukupan protein dan energi, kekurangan nutrisi), karakteristik dan berat ibu (berat ibu ketika hamil, paritas, jarak kelahiran), penyakit (infeksi di masyarakat seperti malaria, anaemia, syphilis, rubella), komplikasi kehamilan (eklamsi, infeksi ketika melahirkan), gaya hidup ibu (merokok dan mengkonsumsi alkohol) dan lingkungan (polusi, faktor sosial ekonomi).2

Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah hingga saat ini merupakan masalah seluruh dunia karena merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada masa bayi baru lahir. Prevalensi diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3.3%-38% dan lebih sering di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Statistik menunjukkan bahwa 90% dari kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram.3

Bayi BBLR banyak sekali risiko terjadi permasalahan pada sistem tubuh, oleh karena kondisi tubuh yang tidak stabil. Kematian perinatal pada bayi BBLR adalah 8 kali lebih besar dari bayi normal. Prognosis akan lebih buruk bila berat badan semakin rendah, kamatian sering disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia, asfirasi, pneumonia, perdarahan intracranial, infeksi, hipotermi, dan hipoglikemia masih tinggi di Indonesia. Dengan kata lain, tingginya angka kematian tersebut disebabkan BBLR sangat rentan terhadap berbagai penyakit dengan gejala yang bervariasi. Padahal telah diketahui bersama bahwa indikator kesehatan suatu bangsa masih dilihat dari tingg idan rendahnya angka kematian bayi, termasuk kematian bayi BBLR.4

Hasil penelitian Besral, menyebutkan bahwa kelahiran premature dan bayi BBLR adalah penyebab terbesar AKB diikuti kejadian infeksi. Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari paling banyak berturut-turut adalah sepsis (20.5%), kelainan congenital (19%), pneumonia (17%), respiratory distress syndrome (14%), prematuritas (14%), ikterus (3%), cedera lahir (3%), tetanus (3%), defisiensi nutrisi (3%), dan suddenly infant death syndrome (3%).5

Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi, sekitar 56% kematian terjadi pada periode yang sangat dini yaitu di masa neonatal.Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada 0-6 hari (78.5%), penyebab utama kematian bayi adalah prematuritas dan BBLR 30-40%. Target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 adalah menurunkan AKB kelahiran hidup menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.6

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan BBLR antara lain adalah usia ibu pada waktu hamil terlalu muda yaitu kurang dari 20 tahun atau terlalu tua yaitu lebih dari 35 tahun, jarak kehamilan terlalu dekat yaitu kurang dari 2 tahun, adanya riwayat BBLR sebelumnya, adanya aktivitas berat atau pekerjaan fisik tanpa istirahat, kondisi keluarga sangat miskin, kondisi kehamilan kurang gizi, ibu perokok, pengguna obat terlarang, alkohol, ibu hamil dengan anemia berat, mengalami preeklampsia pada masa kehamilan, adanya infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda dan bayi cacat bawaan.7

Status gizi ibu baik sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab utama dari berbagai persoalan kesehatan yang serius pada ibu dan bayi, yang akan mengakibatkan terjadinya bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, serta kematian neonatal dan perinatal. Padahal perbaikan status gizi ibu hamil telah banyak dilakukan.8

Tingkat pendidikan ibu hamil juga sangat berperan dalam kualitas perawatan bayinya. Informasi yang berhubungan dengan perawatan kehamilan yang sangat dibutuhkan, sehingga akan meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan erat hubungannya dengan pendidikan seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik pula pengetahuannya tentang sesuatu. Pada ibu hamil dengan tingkat pendidikan yang rendah kadang ketika tidak mendapatkan informasi mengenai kesehatannya, maka ia tidak tahu mengenai bagaimana cara untuk melakukan perawatan kehamilan yang baik.9

Pemeriksaan ibu selama kehamilan sangat menentukan kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Pemeriksaan secara rutin juga dapat mendeteksi sedini mungkin jika ada kelainan pada ibu dan janin selama kehamilan.Hasil temuan Candrayanti di Temanggung, juga sesuai dengan hasil penelitian bahwa ANC yang teratur berhubungan dengan kejadian BBLR.4 Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan persalinan, pelayanan kesehatan ibu nifas, dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir.2