Tuesday, March 31, 2015

Amnion/Cairan Ketuban


Amnion (cairan ketuban) adalah cairan yang bening agak kekuning-kuningan yang mengelilingi bayi yang belum lahir (janin) selama kehamilan. Cairan ini terkandung dalam kantung ketuban.
Pengertian Air Ketuban adalah cairan amnion, adalah cairan yang terdapat dalam ruangan yang diliputi selaput janin. Bobot jenis cairan ini sekitar 1.080 Makin tua kehamilan, makin turun berat jenisnya, hingga menjadi 1.025-1.010

Di dalam rahim, bayi mengapung dalam cairan ketuban. Cairan ketuban mengelilingi dan mendukung bayi dalam seluruh perkembangannya. Jumlah cairan ketuban terbesar adalah sekitar 34 minggu kehamilan.

Cairan ketuban terus bergerak (beredar) saat bayi menelan dan menghirup cairan, dan kemudian melepaskan atau menghembuskan cairan melalui urin.

Fungsi Cairan Ketuban
  1. Sebagai pelindung yang akan menahan janin dari trauma akibat benturan.
  2. Melindungi dan mencegah tali pusat dari kekeringan, yang dapat menyebabkannya mengerut sehingga menghambat penyaluran oksigen melalui darah ibu ke janin.
  3. Berperan sebagai cadangan cairan dan sumber nutrien bagi janin untuk sementara.
  4. Memungkinkan janin bergerak lebih bebas, membantu sistem pencernaan janin, sistem otot dan tulang rangka, serta sistem pernapasan janin agar berkembang dengan baik.
  5. Menjadi inkubator yang sangat istimewa dalam menjaga kehangatan di sekitar janin. 
  6. Selaput ketuban dengan cairan ketuban di dalamnya merupakan penahan janin dan rahim terhadap kemungkinan infeksi.
Pada waktu persalinan, air ketuban dapat meratakan tekanan atau kontraksi di dalam rahim, sehingga leher rahim membuka.
Dan saat kantung ketuban pecah, air ketuban yang keluar sekaligus akan membersihkan jalan lahir.

Pada saat kehamilan, air ketuban juga bisa digunakan untuk mendeteksi kelainan yang dialami janin, khususnya yang berhubungan dengan kelainan kromosom.
Kandungan lemak dalam air ketuban dapat menjadi penanda janin sudah matang atau lewat waktu.

Ternyata, mulai dari awal kehamilan sampai dengan trimester kedua kehamilan, air ketuban ini akan nampak terang, jernih, dan mungkin agak kekuningan. Namun, kalau sudah di trimester ketiga kehamilan, air ketuban berubah menjadi terang sekali, benar-benar tidak ada warnanya.

Sekitar kurang lebih mulai minggu ke 33 sampai dengan minggu ke 34, cairan ketuban berubah menjadi agak sedikit keruh. Perubahan ini tentunya secara perlahan-lahan, dan tidak langsung begitu saja. Barulah sekitar minggu-minggu ke 36 sampai dengan minggu ke 37, perubahan ini terjadi relatif lebih cepat.

Dalam kurun waktu kehamilan tidak hanya secara fisik anda yang mengalami perubahan akan tetapi beberapa faktor seperti komposisi air ketuban mengalami perubahan sesuai dengan usia.

Selama kehamilan anda akan mengalami jumlah air ketuban bahkan pada usia kandungan memasuki usia 25 minggu jumlah air ketuban rata rata adalah 239 ml sedangkan pada usia kehamilan 33 minggu rata rata meningkat menjadi 984 ml.

Air ketuban menjadi poin penting selama kehamilan begitu juga saat memasuki persalinan. Pada saat persalinan air ketuban abnormal akan mengakibatkan kondisi kesehatan bayi memburuk.

Warna Cairan Ketuban
Warna air ketuban sebenarnya tak berbeda dengan warna air biasa, yakni jernih. Kalau ada perubahan warna, semisal hijau atau merah kecokelatan, patut dicurigai ada yang tak beres pada janin. Kemungkinan akibat infeksi, terjadi kebocoran/pecah ketuban, atau hal lain yang bersifat fatal.

Tingkat keparahan gangguan, bisa “terbaca” dari gradasi warna yang terbentuk. Semakin pekat dan keruh warnanya, tentu kian besar pula ancaman pada kesejahteraan janin. “Kalau hijau kental, misalnya, kemungkinan besar janin sudah buang air besar (BAB) di dalam rahim. Harus dilihat lagi, apakah janin mengalami stres karena berkurangnya suplai oksigen atau melemahnya otot-otot sfingter yang mengelilingi saluran pembuangan. Sebab dalam keadaan normal bayi, belum BAB di dalam rahim jika memang tak ada stres.”

Karena itulah, bila air ketuban berwarna keruh, paramedis yang menangani persalinan harus segera bertindak. Sayangnya, warna air ketuban baru dapat terlihat saat persalinan dan sama sekali tak bisa “diintip” selagi janin masih dalam kandungan.

Saat pembukaan dua dan ketahuan air ketuban berwarna hijau kental, misalnya, dokter harus segera memutuskan untuk menempuh tindakan sesar karena itu menandakan gawat janin yang semakin besar risikonya bila harus berlama-lama mengikuti proses melahirkan secara spontan. Belum lagi bila ada kemungkinan persalinan macet atau lainnya.

Begitu juga bila air ketuban berwarna merah. “Itu pertanda ada perdarahan, entah karena ari-ari lepas maupun perdarahan karena sebab lain. Sedangkan bila warna air ketuban bernuansa cokelat kehitaman biasanya bayi sudah meninggal dalam rahim. “Sebetulnya, ibu sudah bisa mengantisipasi keadaan ini lewat gerakan janin. Memasuki usia kehamilan 28 minggu, contohnya, minimal 10 kali gerakan per hari. Jika kurang dari itu atau malah tidak bergerak sama sekali, ibu bisa langsung berkonsultasi ke dokter.

Penyebab Ketuhnya Cairan Ketuban
Salah satunya dalam beberapa kasus ditemukan adanya air ketuban yang keruh yang dapat mengakibatkan gangguan pada saat persalinan. Air ketuban keruh dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah infeksi yang terjadi selama kehamilan, kehamilan yang lebih dari waktu persalinan, terjadinya gangguan pada janin.

1. Infeksi
Infeksi yang terjadi selama kehamilan dapat disebabkan karena air ketuban pecah disebabkan oleh infeksi sehingga harus segera dilakukan persalinan, apabila tidak segera diberikan penanganan dikhawatirkan akan mengakibatkan gangguan pada bayi anda.

2. Kehamilan yang melebihi 42 minggu
Sedangkan untuk hamil yang melewati waktu berhubungan dengan kelahiran normal yang harusnya terjadi 37 hingga 42 minggu. Bagi ibu hamil yang melewati masa tersebut biasanya disebut over pregnancy sehingga apabila melewati usia 42 minggu plasenta akan lebih tua dan tidak berfungsi seperti mestinya menyebabkan kekurangan pasokan oksigen pada bayi. Hal ini meningkatkan resiko ketuban pecah dini dan terjadi infeksi pada bayi, selain itu
dapat mengakibatkan air ketuban menjadi berwarna hijau keruh.

3. Gangguan pada janin
Selanjutnya penyebab dari bahaya air ketuban keruh adalah gangguan pada janin. Salah satu kasus yang dapat diambil adalah kurangnya pasokan oksigen dari sang ibu dikarenakan gangguaan kesehatan seperti asma atau terjadi karena gangguan dari pergerakan bayi yang terlalu aktif mengakibatkan tali pusar melilit sehingga mengakibatkan bayi stress. Bayi yang stress akan mengeluarkan mekonium yaitu feses yang dihasilkan oleh bayi yang baru lahir. Terjadinya mekonium di dalam kandungan mengakibatkan air ketuban menjadi hijau keruh. Air ketuban memang sangat befungsi ketika kehamilan dan menjelang persalinan akan tetapi apabila sudah melalui masa hamil (37-42 minggu) dan bayi masih di dalam kandungan akan berbahaya. Air ketuban yang mencemari disaat persalinan berlangsung dikenal dengan istilah medis Meconium Aspiration syndrome (MAS). Air ketuban keruh yang berwarna hijau bahkan hingga berwarna hitam akan mengakibatkan gangguan kesehatan pada bayi apabila tidak segera ditangani. Ciri ciri bayi yang megalami keracunan air ketuban adalah dengan mengalami penuaan pada kulit seperti keriput kemudian kukunya memanjang dan adanya cairan pada paru-parunya.

Lakukan pencegahan agar air ketuban terjaga dengan baik yaitu dengan mengkonsumsi air kelapa muda dikarena kandungan nutrisi yaitu kandungan elektrolit yang dapat membersihkan rahim terutama dalam menjaga kestabilan air ketuban.

Komposisi Cairan Ketuban
1. Terdiri dari 98% air
2. Bahan padat lain 2% yang terdiri dari: a) Elektrolit, derifat protein (kreatinin, ureum, dan asam urat), glukosa, lemak, dan lemak protein (fosfolipid dan kolesterol) b) Hormon (HCG, Hpl, Estrogen, Progesteron, Prolaktin) c) Enzim (seluruh enzim dalam tubuh manusia) d) Pigmen ( bilirubin pada awal kehamilan yang akan menghilang saat hepar menjadi matang) e) Bahan-bahan dari janin seperti rambut, verniks.

Pengaruh MSG Terhadap Kesehatan Reproduksi

Monosodium Glutamat atau yang biasa disingkat MSG memiliki peran sebagai bahan tambahan pangan. Bahan tambahan pangan ini sangatlah sering digunakan oleh manusia sebagai pembuat rasa lezat pada makanan.

Asam glutamat merupakan unsur pokok dari protein yang secara alami terdapat pada bermacam-macam sayuran, seperti tomat, kacang polong, dan kentang, serta daging, ikan, susu, dan keju. Pembuatan monosodium glutamat secara sintetis lah yang memicu penggunaan zat ini secara besar-besaran dalam industri makanan. Produksi MSG menurut WHO dapat mencapai 200.000 ton per tahunnya.

Namun sayang banyak orang yang menggunakan MSG dengan tidak memperkirakan banyaknya takaran yang diperlukan untuk memperlezat masakannya. Hal itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan efek dari penggunaan MSG yang berlebihan, salah satunya ialah organ reproduksi.

Monosodium glutamat diturunkan dari glutamat, sebuah asam amino yang ditemukan pada semua pangan yang mengandung protein, dan merupakan salah satu komponen terbesar dan penting dari protein. Asam amino glutamat terjadi seara alami pada pangan yang mengandung protein seperti keju, susu, daging, ikan, jamur, dll. Glutamat juga diproduksi oleh tubuh manusia dan vital untuk pertumbuhan, metabolisme, dan fungsi otak.

Rata-rata orang dewasa mengkonsumsi 11 g asam amino glutamat/hari dari sumber protein alami dan kurang dari 1 g/hari dari MSG. Sebaliknya tubuh kita menghasilkan 50 g/hari yang digunakan komponen metabolisme yang vital.

Asam glutamat secara alami berperan penting dalam produksi energi, sintesis urea, sintesis glutation, dan sebagai neurotransmitter (sinyal perantara sel saraf), dan merupakan asam amino utama dalam mitokondria sel. Walaupun zat ini penting untuk metabolisme dan produksi berbagai macam asam amino serta proses-proses penting dalam tubuh, penggunaan monosodium glutamat sintesis yang berlebihan terbukti berpengaruh buruk terhadap otak. Pada tahun 1968 dalam jurnal kedokteran New England Journal of Medicine dilaporkan mengenai penyakit sindrom restoran Cina, dimana penderita memperlihatkan gejala-gejala seperti rasa panas, rasa tertusuk di wajah dan leher, dada sesak, dan lain-lain. Penggunaan MSG memang sangat umum pada masakan-masakah khas Cina yang disajikan di restoran Cina saat itu. Percobaan pada mencit muda membuktikan bahwa pemberian MSG lewat oral atau suntikan dapat menyebabkan adanya lesi pada otak mencit serta menyebabkan gangguan pengaturan hormon. Berdasarkan rekomendasi WHO, MSG aman digunakan dalam makanan sehari-hari paling banyak 6 mg/kg berat badan manusia dewasa, yang berarti penggunaannya kira-kira tidak boleh lebih dari 2 gram per hari, sedangkan di negara Asia rata-rata penggunaan MSG sebanyak 3 gram per hari. Hal ini perlu diwaspadai karena penggunaan MSG dengan kadar seperti berrisiko menimbulkan alergi dan memperberat penyakit asma. Sedangkan terhadap system reproduksi wanita, pengaruh MSG terutama berdampak pada kerja dua hormone yang sangat penting dalam sistem reproduksi wanita, yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone).

FSH, yang dilepaskan ke dalam aliran darah oleh rangsangan dari hormon GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone), menyebabkan sel-sel telur di dalam ovarium tumbuh. Sel telur yang matang memberikan umpan balik ke kelenjar hipofisis untuk memproduksi LH, yang akan membantu pengeluaran sel telur dari folikelnya (proses yang dinamakan ovulasi) dan mengubah folikel kosong ini menjadi korpus luteum, yang berfungsi memproduksi hormon progesteron, untuk mempersiapkan otot rahim (endometrium) menjadi tempat perlekatan sel telur yang telah dibuahi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meneliti efek dari MSG terhadap sistem reproduksi, antara lain penelitian oleh Redding T (1971) yang mengungkapkan bahwa MSG menurunkan kadar GnRH dan LH pada mencit, atau penelitian oleh Lamperti dkk (1976 dan 1977) yang membuktikan bahwa MSG menyebabkan lesi otak yang menghambat perkembangan folikel dalam ovarium mencit serta menurunkan kadar FSH dan LH dalam darah. Penelitian-penelitian lain juga mengungkapkan efek buruk dari pemberian MSG terhadap kesehatan reproduksi, antara lain menyebabkan kerusakan sel saraf, pengurangan berat kelenjar penghasil hormon (endokrin), pemanjangan siklus estrus, pengurangan berat testis, penurunan jumlah folikel, penuaan sel telur, dan pengurangan reseptor hormon estrogen, sehingga sel menjadi kurang sensitif terhadap hormon estrogen. Penelitian terbaru tahun 2007 juga menunjukkan adanya degenerasi sel dengan pemberian MSG 6 gram dan kemungkinan perannya sebagai racun bagi sel telur dan folikel di ovarium.

Terkait masalah etik, memang belum ada penelitian menyeluruh mengenai efek MSG pada reproduksi manusia. Namun dari berbagai hasil penelitian pada binatang di atas, tidaklah berlebihan jika kita lebih hati-hati dalam menggunakan MSG pada makanan sehari-hari, karena kemungkinan efek buruk terhadap sistem reproduksi yang dapat mempengaruhi kesuburan pria maupun wanita.

Selama tiga puluh tahun, para ahli dan peneliti telah menggunakan MSG dalam eksperimen mereka dengan tujuan membuat uji obese dan pre-diabetic, stroke ischemic, dan menghancurkan jaringan sel in vivo dan in vitro. Jumlah penelitian yang menggunakan MSG untuk menyebabkan efek negatif dalam orang yang diuji yang jumlahnya di atas 1000, dipublikasikan dalam berbagai jurnal medikal dan sains dalam banyak negara berbeda. Monosodium glutamat yang ditambahkan ke dalam makanan telah ditunjukkan untuk meningkatkan keinginan orang yang diuji untuk makan lebih cepat dan lebih sering.

Terdapat banyak bukti bahwa tidak hanya peningkatan obesitas dan diabetes manusia yang dihubungkan pada pemakaian monosodium glutamat, tapi peningkatan keautisan dan penyakit Attention deficit hyperactive juga. Dari berbagai bukti yang menunjukkan efek-efek yang disebabkan oleh bahan tambahan pangan Monosodium glutamat, Joint Food and Agriculture Committee/World Health Organization Experti Committe on food Additive telah diminta untuk menghapus monosodium glutamat (dan bahan-bahan yang mengandung MSG) dari daftar bahan tambahan pangan yang diperbolehkan, dan juga dari vaksin.

Pemakaian MSG Oleh Manusia

Secara oral

Monosodium glutamat ditemukan dalam jumlah tak terbatas dalam beragam makanan. MSG juga ditambahkan dalam jumlah tak terbatas di restoran dan industri makanan seperti rumah sakit, rumah jompo dan kafetaria. Karena prosesor makanan dan pabrik tidak harus mencantumkan jumlah MSG pada packaging mereka, kita tidak punya cara untuk mengetahui seberapa banyak orang normal atau anak akan mengkonsumsinya sehari-hari. Menurut penelitian industri 0.6 % MSG yang ditambahkan pada makanan adalah optimal untuk membuat orang makan dengan banyak dan cepat (Bellisle, 1991). Jika ini adalah kasusnya, sebanyak 6 % makanan harian orang terbuat dari MSG. Dalam 2 kg pemakaian harian dari makanan, dewasa atau anak akan menerima 12 g dosis monosodium glutamat. Dosis 12 g MSG adalah lethal bagi satu kilogram tikus. JECFA Toxicology Study, FAO Nutrition Meetings Report Series, 1974, No. 53

Subcutaneously

Walaupun sebelumnya JECFA telah tidak memperbolehkan MSG dalam makanan bagi bayi dan mereka yang masih berumur di bawah satu tahun, banyak bayi dan anak-anak yang menerima dosis MSG dalam berbagai vaksinasi.

Transmisi udara

Sekarang MSG sudah mulai disemprotkan pada pertanian dan bisa menjadi airborne. Walaupun Codex tidak memperbolehkan penambahan MSG pada buah-buahan segar dan sayuran (GFSA Annex pada Tabel 3) Auxigro, dengan 30 % kandungan MSG, telah disetujui oleh beberapa negara untuk disemprotkan pada pertanian buah-buahan segar dan sayuran. Efek Airborne dari penyemprotan MSG masih belumm diteliti oleh JECFA.

Aspek Biologis

Monosodium glutamat adalah sebuah asam amino yang siap digunakan oleh reseptor glutamat di seluruh tubuh mamalia. Reseptor-reseptor glutamat ini terdapat dalam sistem syaraf pusat sebagai mediator utama dari eksitatori neurotransmisi dan eksitotoksitas. Kelainan neural dihubungkan dengan trauma, stroke, epilepsi, dan banyak penyakit degeneratif syaraf seperti penyakit Alzheimer, Huntington, dan Parkinson dan amyotrophic lateral sclerosis dapat dimediasi oleh aktivasi berlebih dari reseptor glutamat. Neurotoksisitas dihubungkan dengan eksitatori asam amino yang terdapat dalam makanan, seperti monosodium glutamat, juga telah dihubungkan dengan reseptor glutamat. Reseptor-reseptor glutamat ditemukan pada hati monyet dan tikus, sistem gerak, ujung syaraf, dan cardiac ganglia. Mereka juga terdapat di ginjal, hati, paru-paru, spleen, dan testis. Sehingga, pihak keamanan pangan harus menganggap jaringan-jaringan ini sebagai lahan target potensial.

MSG Meningkatkan Nafsu Makan

MSG yang ditambahkan pada makanan domba telah menghasilkan peningkatan nafsu makan dari domba. Domba dengan oesophageal fistulas digunakan dalam eksperimen sham-feeding untuk melihat bagaimana pemasukan sham dipengaruhi oleh penambahan monosodium glutamat (MSG) ke bermacam-macam makanan straw untuk domba.

MSG pada 5-40 g/kg straw meningkatkan pemasukan sham sebanyak 146% (P = 0.04) dan 164% (P = 0.01). Penemuan ini mengindikasikan bahwa pemasukkan makanan dengan kualitas rendah dapat ditingkatkan dengan memperbaiki palatabilitas mereka dengan MSG.

Terdapat hubungan yang dapat ditemukan dalam tes dengan subyek manusia: dua penemuan dengan MSG dan nafsu makan manusia ditemukan:

Ketika subyek manusia memakan makanan yang mengandung MSG, mereka cepat menjadi lapar lagi.

Manusia akan makan lebih banyak makanan yang ditambahkan dengan MSG daripada kontrol makanan yang tidak mengandung MSG.

Subyek mengkonsumsi preload sup dengan ukuran yang tepat yang mengandung konsentrasi monosodium L-glutamat yang berbeda. Efek pada nafsu makan berdasarkan preload-preload ini, dan ketika tidak ada sup yang dikonsumsi, dipelajari dalam tiga penelitian. Penemuan yang paling penting tentang MSG menunjukkan bahwa motivasi untuk makan kembali dengan lebih cepat menurut makanan makan siang di mana sup yang disuplementasi MSG disediakan.

Efek MSG pada palatabilitas dari dua makanan eksperimen diinvestigasi pada 36 laki-laki dan perempuan muda yang sehat. MSG memperbaiki tingkat palatabilitas, dengan nilai optimal 0.6 %. Test mingguan dari pemasukan menunjukkan bahwa subyek yang makan makanan eksperimen dengan kandungan 0.6 % MSG makan dengan cepat dan lebih cepat, mengindikasikan peningkatan palatabilitas dengan percobaan berulang. MSG memfasilitasi beberapa pemasukan tapi tidak semua makanan target, dan diasosiasikan dengan menguntungkan (peningkatan pemasukan calsium dan magnesium) atau merugikan (peningkatan pemasukan lemak) efek nutrisi. Dapat disimpulkan bahwa MSG dapat bertindak sebagai peningkat palatabilitas dalam konteks French diet.

MSG Menyebabkan Diabetes

Bahan tambahan pangan Monosodium Glutamat digunakan dengan tujuan membuat tikus penderita diabetes. Penderita diabetes meningkat setiap tahunnya, dan model hewan baru dibutuhkan untuk mempelajari aspek dari penyakit ini. Model hewan gemuk eksperimen dilaporkan telah didapatkan dengan menyuntikan monosodium glutamat pada seekor tikus. Ditemukan bahwa tikus ICR-MSG dimana metode yang sama digunakan, mengembangkan glycosuria. Kedua-duanya tikus betina dan jantan diobservasi jadi obes tapi tidak memiliki polyphagia, dan glycosuric setelah 29 minggu, dengan jantan mendapat insiden tingkat tinggi (70.0%). Konsentrasi glukosa, insulin, total kolesterol, dan trigliserida dalam darah lebih tinggi pada tikus kontrol di minggu 29. konsentrasi tinggi ini lebih sering muncul pada jantan yang lebih muda dari pada pada betina, dan parah pada jantan dewasa. Juga, tikus pada 54 minggu menunjukkan obesitas yang jelas dan meningkat konsentrasi glukosa, insulin, dan total kolesterolnya dalam darah.

Peneletian patologi tikus ICR-MSG jantan dan betina pada minggu ke 29 menunjukkan hipertropi pancreatic islet. Ini juga diobservasi hampir pada semua tikus-tikus ini pada minggu ke 54. Hal ini dikenali sebagai kelanjutan dari kondisi diabetes mellitus. Dari hasil di atas, tikus-tikus ini dianggap berguna sebagai hewan model eksperimen yang baru yang mengembangkan obesitas tipe 2 tingkat tinggi (non-insulin) diabetes mellitus tanpa polyphagia.

Tidak semua spesies tikus jadi obes dengan pemasukan MSG, beberapa di antaranya hanya mendapat diabetes. Hamster china yang baru lahir yang diinjeksikan dengan MSG menunjukkan tidak adanya tanda obesitas, bahkan saat tumbuh dewasa, tapi justru mengembangkan sindrom diabetes.

MSG Melintasi Placenta Membahayakan Janin

MSG terlihat dapat melintasi penghalang placenta dalam tikus, dan penelitian baru membuktikan bahwa dalam kasus di mana ibu manusia yang menderita infeksi intrauterine beresiko memiliki bayi yang mengalami kerusakan otak perinatal eksitotoksik yang disebabkan oleh glutamat.

Monosodium-L-glutamat yang diberikan subcutaneously pada tikus hamil menyebabkan necrosis akut dari neuron acetylcholinesteras-positif dalam area postrema. Efek yang sama telah ditemukan pada area postrema dari janin tikus. Proses kematian sel neuron dan eliminasi dari debris oleh sel microglia dibuktikan sama pada hewan-hewan hamil dan janin mereka. Bagaimanapun, neuron embrio jauh lebih sensitif atas glutamat seperti yang telah dibuktikan dengan hubungan kecepatan proses dan respon dosis. Observasi ini meningkatkan kemungkinan peracunan trasnplacental pada janin manusia setelah sang ibu mengonsumsi makanan yang kaya glutamat.

MSG dapat melakukan penetrasi pada penghalang placenta dan mendistribusi hampir di antara jaringan-jaringan embrio. MSG juga dapat menyebabkan kematian neuron yang dapat menghasilkan pengurangan kemampuan belajar dan mengingat pada tikus hamil dewasa yang diberi MSG. Disarankan bagi ibu hamil untuk tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung monosodium glutamat dan memperhatikan kebali RDA dari protein dan asam amino selama kehamilan.

Evaluasi Keamanan JECFA

The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) telah melakukan dua evaluasi tentang keamanan MSG. Yang pertama dilakukan pada tahun 1971-1974, dan yang kedua dilakukan pada tahun 1987. Review ini akan memperhatikan hanya evaluasi yang paling baru (JECFA 1988). JECFA melakukan penelitian toksisitas akut, subkronik, dan kronik pada tikus, tikus kecil dan anjing, bersama-sama dengan penelitian pada tetratologi dan toksisitas reproduktif. Glutamat ditemukan memiliki toksisitas oral yang sangat rendah. LD50 bagi tikus besar dan kecil adalah sekitar 15,000 dan 18,000 mg/kg berat badan.

Penelitian subkronik sebaik penelitian kronik dengan durasi hingga 2 tahun pada tikus kecil dan tikus besar, termasuk fase reproduksi, tidak memperlihatkan efek merugikan yang spesifik pada tingkat dietary hingga 4 %. Penelitian dua tahun pada anjing pada tingkat dietary 10 % juga tidak menunukkan efek apa-apa pada penambahan berat badan, berat organ, clinical indices, kematian atau prilaku umum. Penelitian tetralogi dan reproduksi menggunakan administration oral route tidak menunjukkan efek merugikan, bahkan pada dosis tinggi.

Evaluasi JECFA juga ditujukan pada dua isu neurotoksisitas potensial, khususnya pada bayi. Eksaminasi pada neurotoksisitas potensial merupakan komponen utaa dari evaluasi keamanan, dengan laporan dari 59 penelitian terpisah pada tikus kecil, besar, hamster, anjing, kelinci, guinea pig, bebek dan primata diperhatikatn. Isu ini diberikan banyak perhatian karena laporan bahwa lesion (focal necrosis) dalam hipotalamus ditemukan berkembang pada tikus dan kelinci setelah pemberian intravenous dan subcutaneous glutamat atau setelah dosis bolus tinggi oleh gavage. Lesion neuron ditemukan dalam jam pemberian dan tikus tampak menjadi spesies yang paling sensitif. Hampir keseluruhan penelitian dengan primata yang berhubungan dengan lesion hipotalamus negatif. Dosis gavage oral yang dibutuhkan untuk memproduksi lesion adalah 1000 mg/kg berat badan sebagai dosis bolus. ED50 untuk produksi lesion hipotalamus pada tikus neonatal adalah sekitar 500 mg/kg berat badan oleh gavage, di mana dosis palatabel terbesar adalah sekitar 60 mg/kg berat badan dengan dosisi lebih tinggi menyebabkan mual. Itu disimpulkan bahwa pemasukan voluntari tidak akan melebihi level ini.

Hubungan Status Gizi Terhadap Indeks Prestasi Belajar Mahasiswa/Remaja

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan adanya persaingan pada berbagai aspek maka diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi, agar mampu bersaing dengan negara lain. Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung berpengaruh terhadap kualitas Sumber Daya Manusia disuatu negara, yang digambarkan melalui pertumbuhan ekonomi, umur harapan hidup dan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang tinggi hanya dapat dicapai oleh orang yang sehat dan berstatus gizi baik (Depkes 2003).

Masalah gizi di Indonesia dan Negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kekurangan Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah Obesitas terutama di kota-kota besar ( Dewa Nyoman, dkk 2002)

Pembangunan berwawasan kesehatan adalah sebagai strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Dengan kebijakkan dan strategi ini, perencanaan dan pelaksanaan di semua sektor harus mampu mempertimbangkan dampak negatif dan dampak positifnya terhadap kesehatan bagi individu, keluarga, dan masyarakat ( Depkes RI 1999 ).

Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak pembuahan sampai dengan mencapai dewasa. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dan membentuk SDM yang sehat, cerdas, dan produktif ( Depkes RI 2002 ).

Masalah gizi merupakan masalah yang perlu diperhatikan karena dapat membuat daya ingat menurun dan gangguan konsentrasi dalam belajar. Secara nasional prevalensi yang terjadi dari gangguan masalah gizi yaitu bisa membuat seseorang menderita anemia, dimana anemia yang terjadi pada remaja putri usia 15 – 19 tahun adalah 26% dan 25% pada wanita usia subur 20 – 29 tahun ( SKRT, 2010).

Hubungan Antara Pola Makan Ibu Hamil Dengan Tinggi Fundus Uteri Dan Berat Badan (Status Gizi)

BAB I 

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan menjadi bagian dari pembangunan nasional yang merupakan upaya bagi seluruh bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah dalam mewujudkan peningkatan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat setiap orang agar mencapai derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan berwawasan kesehatan adalah sebagian strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010 sehingga kebijakan dan strategi ini memiliki dampak negatif dan positif terhadap kesehatan masyarakat baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat terutama terhadap ibu hamil yang merupakan pencetus lahirnya generasi yang akan membangun bangsa dimasa depan. (Depkes RI 2000).

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kebijaksanaan umum dari tujuan nasional. Agar tujuan pembangunan dibidang kesehatan tersebut dapat terwujud, diperlukan suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dan sebagai perwujudan upaya tersebut dibentuk sistem kesehatan nasional (Budioro, 2001).

Hubungan erat antara makanan dengan kesehatan manusia telah lama diakui oleh para ahli. Pada tahun 1970, para pembuat kebijakan pembangunan di dunia menyadari bahwa arti makanan lebih luas dari sekadar untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan saja. Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia, hal mana merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi ternyata sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan produktivitas kerja manusia. Agar perencanaan upaya peningkatan status gizi penduduk dapat dilakukan dengan baik, semua aspek yang berpengaruh perlu dipelajari termasuk aspek pola makan, sosio-budaya, dan pengaruh konsumsi makanan terhadap status gizi. (Almatsier, 2001).

Asupan zat gizi sehari-hari sangat tergantung pada pola makan yang dilakukan. Jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. (Almatsier, 2003).

Pada dasarnya Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang menyebabkan perubahan keseimbangan hormonal, terutama perubahan hormon esterogen dan progesterone.keinginan untuk hamil adalah salah satu insting manusia yang paling mendasar dan paling kuat, juga dimiliki oleh semua mahluk hidup dibumi. Kenaikan berat badan pada masa kehamilan berjalan dengan perlahan dan stabil. (Charlis, 2005).

Kehamilan merupakan masa kehidupan yang penting, masa ini dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin, lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir (Prawirohardjo, 2002).

Kecepatan naiknya berat badan hampir sama pentingnya dengan jumlah kenaikan yang harus didapat. Idealnya penambahan berat badan terjadi secara perlahan dan stabil disepanjang kehamilan. Selama trimester pertama berat badan naik 1,5 sampai 2 Kg dan saat memasuki trimester kedua kehamilan, ibu hamil harus mengalami kenaikan berat badan sekitar 500 gram per-minggu atau total kenaikan sebanyak 6 sampai 7 Kg. Memasuki bulan ketujuh dan delapan, berat badan harus terus naik sekitar 500 gram per-minggu. Trimester ketiga bulan terakhir kehamilan, berat badan ibu hamil hanya boleh naik sebanyak 500 gram atau 1 Kg atau tidak naik sama sekali sehingga jumlah kenaikan selama terimester ketiga adalah 4 sampai 5 Kg. (Francis-Cheung, 2008).

Menurut Abrams dan Salvin, 1995, “Kurangnya pertambahan berat badan pada trimester II berkorelasi kuat dengan penurunan berat lahir”. (Cunningham, dkk. 2005). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan berat badan ibu hamil sendiri adalah oedema, proses metabolisme, pola makan, merokok, muntah atau diare (Salmah, 2006). Untuk batas kenormalan kenaikan berat badan ibu hamil sendiri tergantung dari indeks masa tubuh (IMT) wanita sebelum hamil (Paath, 2004). IMT adalah berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter (Hunter, 2005).

Berat badan yang didapatkan diakhir kehamilan adalah jumlah dari beberapa hal yang berbeda, kira-kira 7,5% kg, akan berhubungan langsung dengan bayi dan kebutuhannya untuk berat badan bayi, tali pusat, ketuban, otot tambahan untuk memperkuat dinding rahim, arah tambahan yang dibutuhkan bayi dan sel-sel baru untuk menyusui (Huter, 2005).

Selain peningkatan berat badan ibu hamil ada faktor lain yang dapat mempengaruhi berat badan bayi baru lahir antara lain genetik yang normal dan patologis, penyakit ibu, obstetrik dan lingkungan. Menurut National Center For Health Statistics, 2003 “Berat Badan Lahir adalah berat neonatus yang diukur segera setelah lahir atau secepatnya setelah keadaan mengijinkan”. Bayi yang kecil dan dikandung kurang dari 9 bulan lebih mengalami masa fisiologis pasca kelahiran dibandingkan dengan berat badan normal, tetapi bayi yang sangat besar (overweight) juga dapat mempersulit kelahiran (Eisenberg, 1999). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekolah kesehatan masyarakat Harvard secara dramatis menunjukkan bagaimana status kesehatan bayi pada saat lahir berhubungan erat dengan diit ibu selama kehamilan. Pada ibu-ibu yang diitnya baik sampai istimewa, 95% dari bayi balita dengan kesehatan yang tergolong baik dan istimewa, diit ibu sendiri dapat mempengaruhi berat badan ibu yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi BBL, sehingga kurangnya berat badan ibu hamil memungkinkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Eisenberg, 1996). Menurut National Center For Health Statistics 2003 “BBLR adalah berat neonatus yang pertamakali diukur setelah lahir kurang dari 2500 gr”.

Pengetahuan dan Sikap Akseptor KB tentang Kontrasepsi Pil/Masa Interval

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kontrasepsi pil adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk pil atau tablet di dalam strip yang berisi gabungan hormon estrogen dan progesteron atau yang hanya terdiri dari hormon progesteron saja. Kontrasepsi adalah alat untuk mencegah kehamilan setelah berhubungan intim. Alat ini atau cara ini sifat tidak permanen, dan memungkinkan pasangan untuk mendapatkan anak jika diinginkan. KB adalah upaya untuk mengatur jumlah penduduk (Suratun, 2008).

Dimasyarakat, metode kontrasepsi hormonal tidaklah asing lagi. Hampir 70% akseptor KB menggunakan metode kontrasepsi hormonal. Namun demikian banyak juga efek samping yang dikeluhkan oleh akseptor KB yang belum memahami dengan baik bagaimana metode kontrasepsi hormonal tersebut ( Handayani Sri, 2010).

Di Indonesia, program pembangunan nasional, Keluaga Berencana (KB) mempunyai arti yang sangat penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia sejahtera, disamping progam pendidikan dan kesehatan. Paradigma baru program Keluarga Berencapna Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan norma keluarga kecil bahagia sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan ”keluarga berkualitas tahun 2015”. Keluarga yang berkualitas adalah yang sejahtera,

Dinas kesehatan RI mendefinisikan KB sebagai upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pembinaan ketahanan, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera. KB bisa dimulai ketika pasangan berkomitmen untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama dalam suka dan duka. KB diakhiri ketika pasangan meninggal dunia ( Mar’atul Uliyah, 2010).

Dalam masyarakat yang terbiasa minum pil ini memiliki keunggulan karena familaritas serta fleksibelitas untuk berhenti atau mulai kapan sajasesuai keinginan wanita yang akan menggunakannya. Fleksibelitas yang tinggi ini juga merupakan kekurangan utamanya, karena dosis yang rendah sama artinya dengan kecilnya batasan keamanan untuk penundaan minum pil. Pada sebagian wanita, efek pada mucus serviks sudah hilang dalam 24 jam ( Anna Glasier. 2006).

Banyak perempuan mengalami kesulitan didalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak hanya terbatasnya metode yang tersedia tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut berbagai potensi, konsekwensi kegagalan atau kehamilan yang tidak diinginkan, besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan ( Saifuddin, BA, 2006).

Sekitar 0,3 % wanita yang menggunakan pil KB kombinasi sesuai instruksi bisa hamil pada tahun pertama penggunaan. Peluang terjadinya kehamilan akan semakin besar bila wanita terlewat atau lupa minum pil, terutama pada hari-hari awal pada siklus menstruasi. Dosis estrogen pada pil KB kombinasi bervariasi. Biasanya, pil KB kombinasi dengan dosis estrogen yang rendah (20-35 mikrogram). Wanita sehat yang tidak merokok dapat menggunakan pil KB kombinasi dosis rendah tanpa henti sampai menjelang menopause ( El. Manan. 2011).

Banyak wanita memilih metode hormonal sebagai kontrasepsi mereka karena metode tersebut dapat diandalkan, dengan mudah mereka dapat kembali subur, dan mereka tetap memegang kendali. Di inggris, layanan kontrasepsi yang mencakup pil kontrasepsi bebas biaya peresepan, yang memungkinkan metode ini mudah diakses oleh semua wanita ( Suzanne Everett. 2008).

Sesuai dengan keterangan di atas, maka prioritas pertama kontrasepsi yang disarankan adalah pil KB, karena pil KB termasuk metode yang efektif untuk mencegah kehamilan dan salah satu metode yang paling disukai karena kesuburan langsung kembali bila penggunaan dihentikan, serta pil KB dapat mengurangi resiko infertilitas primer hingga 40 %. Ada 2 (dua) macam kontrasepsi pil, yaitu pil kombinasi dan pil progestin. Mengingat kerja kontrasepsi oral yang multiple sulit untuk memahami bagaimana kelalaian tidak mengkonsumsi satu atau dua pil dapat menyebabkan kehamilan ( Iswarati, S.U. 2009 ).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pemakaian kontrasepsi, faktor- faktor ini adalah kebudayaan/kepercayaan, kemampuan tenaga kesehatan dalam memberikan informasi, dan Pengetahuan akseptor yang kurang (BKKBN, 2004).

Hubungan Antara Pengetahuan tentang Gizi, Pola Makan Dengan Insidensi Anemia/Status Gizi Ibu Hamil/Gizi Ibu Hamil/Anemia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anemia gizi dapat disebabkan karena kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin yaitu besi, protein, Vitamin C, Piridoksin, Vitamin E. Keadaan kurang besi adalah penyebab anemia gizi yang paling sering ditemui. Salah satu penyebab terjadinya anemia defisiensi besi adalah asupan yang tidak mencukupi. Asupan zat gizi sehari-hari sangat tergantung pada pola makan yang dilakukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola makan remaja adalah pengetahuan gizi yang dimiliki. Remaja putri termasuk golongan rawan menderita anemia defisiensi besi karena terjadi peningkatan kebutuhan yaitu mereka sedang dalam masa pertumbuhanan dan setiap bulannya mengalami menstruasi yang menyebabkan kehilangan zat besi. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan belajar karena menurunnya daya konsentrasi dan daya pikir. Kekurangan zat besi juga dapat menyebabkan daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun.

Berdasarkan data terdapat sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi dan sebanyak 14% wanita yang sedang menstruasi juga mengalami anemia defisiensi besi (Dito, 2007). Volume darah yang hilang selama menstruasi berkisar antara 25-30 cc per bulan. Jumlah ini mencerminkan kehilangan zat besi sebanyak 12,5-15 mg per bulan atau 0,4-0,5 mg per hari selama 28 hari. Bila ditambah dengan kehilangan basal, kehilangan zat besi total wanita sekitar 1,25 mg per hari dan bila dihitung berdasarkan frekuensinya distribusi kehilangan darah menstruasi, dapat diketahui bahwa hanya 2,5% wanita yang membutuhkan zat besi lebih dari 2,4 mg per hari (DeMaeyer, 1993).

Hasil dari penelitian Arey (1939), yang menganalisis temuan dari 12 studi berbeda yang meneliti sekitar 20.000 catatan kalender dari 1500 wanita, menyimpulkan bahwa tidak terbukti adanya keteraturan siklus menstruasi yang sempurna (Cunningham et. al, 2006). Gunn et. al (1937), dalam suatu studi terhadap 479 wanita normal Inggris, mendapatkan bahwa perbedaan tipikal antara siklus terpendek dan terpanjang adalah 8 atau 9 hari. Pada 30% wanita, perbedaan tersebut dapat mencapai lebih dari 13 hari, tetapi tidak pernah kurang dari 2 hari pada wanita manapun (Cunningham et. al, 2006).

Jumlah darah yang keluar selama periode menstruasi normal telah dipelajari oleh beberapa kelompok peneliti yang menemukan bahwa jumlah berkisar antara 25 ml sampai 60 ml. Pada konsentrasi hemoglobin (Hb) normal yaitu 14 gr/dl dan konsentrasi besi Hb 3,4 mg/gr, volume darah ini mengandung besi sekitar 12 sampai 29 mg dan mencerminkan pengeluaran darah ekuivalen dengan 0,4 sampai 1,0 mg besi setiap hari selama siklus, atau dari 150 sampai 400 mg per tahun. Karena jumlah besi yang diserap dari makanan biasanya cukup terbatas, maka pengeluaran besi yang tampaknya tidak berarti ini menjadi penting karena ikut menurunkan cadangan besi yang pada sebagian besar wanita sudah rendah (Cunningham et al, 2006). Batas kadar Hb remaja putri menurut World Health Organization (WHO 1997) untuk diagnosis anemia apabila kurang dari 12 gr/dl. Menurut Kodiyat (1995), prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil di Indonesia sekitar 63,5%, balita (55,5%), anak usia sekolah (20-40%), wanita dewasa (30-40%), pekerja berpenghasilan rendah (30-40%) dan pria dewasa (20-30%) (Inayati, 2006). Ada beberapa keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia seperti kehilangan darah karena luka berat, tindakan pembedahan, menstruasi, kecelakaan, terlalu sering menjadi donor darah bahkan melahirkan. Beberapa faktor risiko yang dapat menimbulkan kondisi anemia adalah pola makan rendah kandungan besi dan vitamin, khususnya folat, gangguan intestinal yang akan mempengaruhi absorpsi zat-zat gizi ke dalam tubuh kondisi kehamilan dimana tubuh memerlukan asupan besi yang lebih tinggi, menstruasi, penyakit kronis, riwayat kesehatan keluarga dengan kasus anemia serta pecandu alkohol (Inayati, 2006).

Pada wanita siklus menstruasi rata-rata terjadi sekitar 28 hari, walaupun hal ini berlaku umum tidak semua wanita memiliki siklus menstruasi yang sama, terkadang siklus terjadi setiap 21 hari hingga 30 hari. Masa sekolah biasanya lama menstruasi belum diketahui dan belum teratur (Wikipedia, 2007).

Anemia dapat terjadi pada setiap tahap kehidupan, secara statistik lebih sering didapatkan pada balita dan ibu hamil. Kebutuhan zat besi meningkat pada masa pertumbuhan atau usia balita karena pada masa itu pertumbuhan seorang anak sangat pesat (Vira, 2008). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 1995 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia sebesar 57,1%. Penelitian Wirawan (1995) di Jakarta Timur pada siswa SLTA menunjukkan prevalensi anemia sebesar 44,4%. Sedangkan Tambunan (1995) mendapatkan dari 107 siswi SLTA di Jakarta, 24,3% mengalami anemia defisiensi besi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Permaesih dkk (1990) menunjukkan bahwa persentase penderita anemia pada kelompok wanita remaja santri sebanyak 44,4%. Remaja putri lebih rawan terkena anemia dibandingkan anak-anak dan usia dewasa karena remaja berada pada masa pertumbuhan yang membutuhkan zat gizi yang lebih tinggi termasuk besi. Remaja putri mengalami peningkatan kebutuhan besi karena percepatan pertumbuhan (growth spurt) dan menstruasi (Lynch, 2000). Selain itu, remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk badan, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makan dan melakukan pantangan terhadap banyak makanan (Sediaoetomo, 1992). Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian anemia sebagaimana yang ditunjukkan oleh Dreyfuss et al. (2000), adalah defisiensi vitamin A. Faktor lain, yaitu kekurangan konsumsi energi dan protein juga dapat menurunkan kadar hemoglobin dalam darah (Berger et al., 1997).

Di samping itu hasil penelitian pada wanita usia 15–49 tahun di Bangladesh menunjukkan bahwa ketersediaan besi dalam tubuh, tinggi badan, dan konsumsi tablet besi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kadar hemoglobin (Bhargava et al., 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Antelman et al. (2000) di Tanzania menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan indeks massa tubuh (IMT), konsumsi sayuran dan kadar serum retinol dengan anemia pada wanita usia subur. Khumaidi (1989) mengemukakan faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi yang rendah yang meliputi pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga yang rendah. Pendidikan orangtua menentukan kondisi ekonomi rumahtangga yang pada akhirnya mempengaruhi konsumsi keluarga (Sariningrum, 1990). Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan (Berg, 1986). Pendapatan keluarga yang rendah berhubungan dengan tingkat konsumsi besi yang berasal dari daging, ikan, dan unggas serta makanan dari sumber hewani lainnya (Bhargava et al., 2001). Sedangkan pengetahuan seseorang akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap keadaan gizi individu yang bersangkutan termasuk status anemia (Saraswati, 1997). Anemia bisa disebabkan oleh kehilangan darah, diare dan malabsorbsi, frekuensi donor darah yang sering dan konsumsi makanan yang tidak adekuat (Hui, 1985).

Di samping itu keadaan tertentu seperti kebutuhan yang meningkat pada masa pertumbuhan, menderita penyakit kronis (seperti tuberkulosis) serta kehilangan darah karena infeksi parasit (malaria dan kecacingan) akan memperberat kejadian anemia (Arisman, 2004). Akibat dari anemia pada remaja antara lain dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah terkena penyakit, menurunkan aktivitas remaja yang berkaitan dengan kemampuan kerja fisik dan prestasi belajar serta menurunkan kebugaran remaja, sehingga menghambat prestasi olahraga dan produktivitas. Di samping itu, anemia yang terjadi pada remaja putri merupakan risiko terjadinya gangguan fungsi fisik dan mental, serta dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan pada saat kehamilan. Menurut Yip (1998) status besi harus diperbaiki pada saat sebelum hamil yaitu sejak remaja sehingga keadaan anemia pada kehamilan akan dapat dikurangi. Upaya penanggulangan masalah anemia pada remaja berkaitan dengan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya anemia. oleh karena itu diperlukan informasi masalah gizi pada remaja serta fakor-faktor yang mempengaruhinya. Informasi ini sangat berguna sebagai dasar penetapan strategi program perbaikan kesehatan dan gizi pada kelompok remaja. Penelitian dilakukan di Kabupaten Kudus karena tingginya prevalensi anemia gizi pada ibu hamil (62,9%) berdasarkan hasil pemetaan anemia gizi di Jawa Tengah pada Tahun 1999 (Soeharyo dkk, 1999). Namun sampai saat ini belum ada data mengenai prevalensi anemia pada remaja di Kabupaten Kudus.

Monday, March 30, 2015

Determinan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah/BBLR/Kematian Neonatus



BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan pada hekekatnya merupakan penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat secara mandiri dengan peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang optimal serta peningkatan sumber daya manusia dan pemerataan jangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilakukan sendini mungkin, terutama sejak bayi masih dalam kandungan dan saat kelahiran yang harus dilakukan oleh seorang ibu, dan ini berpengaruh erat dengan tingkat kematian bayi.

Salah satu indikator penting untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi atau lebih dikenal dengan AKB, yaitu bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. Dibandingkan dengan indikator lainnya seperti mortalitas, AKB lebih sensitif karena sangat menggambarkan status kemajuan sosial ekonomi suatu negara di mata dunia. Sehingga beralasan bila pemerintah memberikan perhatian serius dalam bentuk berbagai program-program kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang penanggulangan kematian bayi, selain itu penurunan angka kematian bayi merupakan salah satu target utama Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yaitu 23 per 1.000 kelahiran hidup.1

Menurut WHO tahun 2007, BBLR disebabkan oleh 7 (tujuh) faktor yaitu : genetik (faktor gen, interaksi lingkungan, berat badan ayah, jenis kelamin), kecukupan gizi (nutrisi ibu ketika hamil, kecukupan protein dan energi, kekurangan nutrisi), karakteristik dan berat ibu (berat ibu ketika hamil, paritas, jarak kelahiran), penyakit (infeksi di masyarakat seperti malaria, anaemia, syphilis, rubella), komplikasi kehamilan (eklamsi, infeksi ketika melahirkan), gaya hidup ibu (merokok dan mengkonsumsi alkohol) dan lingkungan (polusi, faktor sosial ekonomi).2

Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah hingga saat ini merupakan masalah seluruh dunia karena merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada masa bayi baru lahir. Prevalensi diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3.3%-38% dan lebih sering di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Statistik menunjukkan bahwa 90% dari kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram.3

Bayi BBLR banyak sekali risiko terjadi permasalahan pada sistem tubuh, oleh karena kondisi tubuh yang tidak stabil. Kematian perinatal pada bayi BBLR adalah 8 kali lebih besar dari bayi normal. Prognosis akan lebih buruk bila berat badan semakin rendah, kamatian sering disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia, asfirasi, pneumonia, perdarahan intracranial, infeksi, hipotermi, dan hipoglikemia masih tinggi di Indonesia. Dengan kata lain, tingginya angka kematian tersebut disebabkan BBLR sangat rentan terhadap berbagai penyakit dengan gejala yang bervariasi. Padahal telah diketahui bersama bahwa indikator kesehatan suatu bangsa masih dilihat dari tingg idan rendahnya angka kematian bayi, termasuk kematian bayi BBLR.4

Hasil penelitian Besral, menyebutkan bahwa kelahiran premature dan bayi BBLR adalah penyebab terbesar AKB diikuti kejadian infeksi. Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari paling banyak berturut-turut adalah sepsis (20.5%), kelainan congenital (19%), pneumonia (17%), respiratory distress syndrome (14%), prematuritas (14%), ikterus (3%), cedera lahir (3%), tetanus (3%), defisiensi nutrisi (3%), dan suddenly infant death syndrome (3%).5

Di Indonesia Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi, sekitar 56% kematian terjadi pada periode yang sangat dini yaitu di masa neonatal.Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada 0-6 hari (78.5%), penyebab utama kematian bayi adalah prematuritas dan BBLR 30-40%. Target Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015 adalah menurunkan AKB kelahiran hidup menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.6

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan BBLR antara lain adalah usia ibu pada waktu hamil terlalu muda yaitu kurang dari 20 tahun atau terlalu tua yaitu lebih dari 35 tahun, jarak kehamilan terlalu dekat yaitu kurang dari 2 tahun, adanya riwayat BBLR sebelumnya, adanya aktivitas berat atau pekerjaan fisik tanpa istirahat, kondisi keluarga sangat miskin, kondisi kehamilan kurang gizi, ibu perokok, pengguna obat terlarang, alkohol, ibu hamil dengan anemia berat, mengalami preeklampsia pada masa kehamilan, adanya infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda dan bayi cacat bawaan.7

Status gizi ibu baik sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab utama dari berbagai persoalan kesehatan yang serius pada ibu dan bayi, yang akan mengakibatkan terjadinya bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, kelahiran prematur, serta kematian neonatal dan perinatal. Padahal perbaikan status gizi ibu hamil telah banyak dilakukan.8

Tingkat pendidikan ibu hamil juga sangat berperan dalam kualitas perawatan bayinya. Informasi yang berhubungan dengan perawatan kehamilan yang sangat dibutuhkan, sehingga akan meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan erat hubungannya dengan pendidikan seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin baik pula pengetahuannya tentang sesuatu. Pada ibu hamil dengan tingkat pendidikan yang rendah kadang ketika tidak mendapatkan informasi mengenai kesehatannya, maka ia tidak tahu mengenai bagaimana cara untuk melakukan perawatan kehamilan yang baik.9

Pemeriksaan ibu selama kehamilan sangat menentukan kesehatan ibu dan janin dalam kandungan. Pemeriksaan secara rutin juga dapat mendeteksi sedini mungkin jika ada kelainan pada ibu dan janin selama kehamilan.Hasil temuan Candrayanti di Temanggung, juga sesuai dengan hasil penelitian bahwa ANC yang teratur berhubungan dengan kejadian BBLR.4 Pelayanan kesehatan pada ibu hamil tidak dapat dipisahkan dengan pelayanan persalinan, pelayanan kesehatan ibu nifas, dan pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Kualitas pelayanan antenatal yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir.2

Saturday, March 28, 2015

Hubungan Antara Pola Makan Ibu Hamil Dengan Tinggi Fundus Uteri dan Berat Badan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan menjadi bagian dari pembangunan nasional yang merupakan upaya bagi seluruh bangsa Indonesia, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah dalam mewujudkan peningkatan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat setiap orang agar mencapai derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan berwawasan kesehatan adalah sebagian strategi pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010 sehingga kebijakan dan strategi ini memiliki dampak negatif dan positif terhadap kesehatan masyarakat baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat terutama terhadap ibu hamil yang merupakan pencetus lahirnya generasi yang akan membangun bangsa dimasa depan. (Depkes RI 2000).

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kebijaksanaan umum dari tujuan nasional. Agar tujuan pembangunan dibidang kesehatan tersebut dapat terwujud, diperlukan suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dan sebagai perwujudan upaya tersebut dibentuk sistem kesehatan nasional (Budioro, 2001).

Hubungan erat antara makanan dengan kesehatan manusia telah lama diakui oleh para ahli. Pada tahun 1970, para pembuat kebijakan pembangunan di dunia menyadari bahwa arti makanan lebih luas dari sekadar untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan saja. Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia, hal mana merupakan faktor kunci dalam keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi ternyata sangat berpengaruh terhadap kecerdasan dan produktivitas kerja manusia. Agar perencanaan upaya peningkatan status gizi penduduk dapat dilakukan dengan baik, semua aspek yang berpengaruh perlu dipelajari termasuk aspek pola makan, sosio-budaya, dan pengaruh konsumsi makanan terhadap status gizi. (Almatsier, 2001).

Asupan zat gizi sehari-hari sangat tergantung pada pola makan yang dilakukan. Jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat. Bahasan tersebut menggambarkan betapa eratnya kaitan antara gizi masyarakat dan pembangunan pertanian. Keterkaitan tersebut secara lebih jelas dirumuskan dalam pengertian ketahanan pangan (food security) yaitu tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang memadai dan dapat dijangkau oleh semua orang untuk hidup sehat, aktif, dan produktif. (Almatsier, 2003).

Pada dasarnya Kehamilan merupakan keadaan fisiologis yang menyebabkan perubahan keseimbangan hormonal, terutama perubahan hormon esterogen dan progesterone.keinginan untuk hamil adalah salah satu insting manusia yang paling mendasar dan paling kuat, juga dimiliki oleh semua mahluk hidup dibumi. Kenaikan berat badan pada masa kehamilan berjalan dengan perlahan dan stabil. (Charlis, 2005).

Kehamilan merupakan masa kehidupan yang penting, masa ini dimulai dari konsepsi sampai lahirnya janin, lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir (Prawirohardjo, 2002).

Kecepatan naiknya berat badan hampir sama pentingnya dengan jumlah kenaikan yang harus didapat. Idealnya penambahan berat badan terjadi secara perlahan dan stabil disepanjang kehamilan. Selama trimester pertama berat badan naik 1,5 sampai 2 Kg dan saat memasuki trimester kedua kehamilan, ibu hamil harus mengalami kenaikan berat badan sekitar 500 gram per-minggu atau total kenaikan sebanyak 6 sampai 7 Kg. Memasuki bulan ketujuh dan delapan, berat badan harus terus naik sekitar 500 gram per-minggu. Trimester ketiga bulan terakhir kehamilan, berat badan ibu hamil hanya boleh naik sebanyak 500 gram atau 1 Kg atau tidak naik sama sekali sehingga jumlah kenaikan selama terimester ketiga adalah 4 sampai 5 Kg. (Francis-Cheung, 2008).

Menurut Abrams dan Salvin, 1995, “Kurangnya pertambahan berat badan pada trimester II berkorelasi kuat dengan penurunan berat lahir”. (Cunningham, dkk. 2005). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan berat badan ibu hamil sendiri adalah oedema, proses metabolisme, pola makan, merokok, muntah atau diare (Salmah, 2006). Untuk batas kenormalan kenaikan berat badan ibu hamil sendiri tergantung dari indeks masa tubuh (IMT) wanita sebelum hamil (Paath, 2004). IMT adalah berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter (Hunter, 2005).

Berat badan yang didapatkan diakhir kehamilan adalah jumlah dari beberapa hal yang berbeda, kira-kira 7,5% kg, akan berhubungan langsung dengan bayi dan kebutuhannya untuk berat badan bayi, tali pusat, ketuban, otot tambahan untuk memperkuat dinding rahim, arah tambahan yang dibutuhkan bayi dan sel-sel baru untuk menyusui (Huter, 2005).

Selain peningkatan berat badan ibu hamil ada faktor lain yang dapat mempengaruhi berat badan bayi baru lahir antara lain genetik yang normal dan patologis, penyakit ibu, obstetrik dan lingkungan. Menurut National Center For Health Statistics, 2003 “Berat Badan Lahir adalah berat neonatus yang diukur segera setelah lahir atau secepatnya setelah keadaan mengijinkan”. Bayi yang kecil dan dikandung kurang dari 9 bulan lebih mengalami masa fisiologis pasca kelahiran dibandingkan dengan berat badan normal, tetapi bayi yang sangat besar (overweight) juga dapat mempersulit kelahiran (Eisenberg, 1999).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekolah kesehatan masyarakat Harvard secara dramatis menunjukkan bagaimana status kesehatan bayi pada saat lahir berhubungan erat dengan diit ibu selama kehamilan. Pada ibu-ibu yang diitnya baik sampai istimewa, 95% dari bayi balita dengan kesehatan yang tergolong baik dan istimewa, diit ibu sendiri dapat mempengaruhi berat badan ibu yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi BBL, sehingga kurangnya berat badan ibu hamil memungkinkan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) (Eisenberg, 1996). Menurut National Center For Health Statistics 2003 “BBLR adalah berat neonatus yang pertamakali diukur setelah lahir kurang dari 2500 gr”. Keadaan bayi baru lahir juga tergantung pada pertumbuhan janin dalam uterus, termasuk berat badan lahir, sehingga kondisi ibu hamil diperlukan perhatian yang khusus. Kelahiran dengan berat badan rendah bisa membuat bayi menghadapi resiko tinggi terhadap banyak masalah termasuk kesulitan pernafasan dan perkembangan sehingga mempertinggi angka kematian neonatal (Slonne, 1995).

Dalam upaya perbaikan angka kematian neonatal, dapat dicapai dengan menemukan dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan janin dan neonatus, yaitu dengan kualitas pengawasan antenatal yang baik, sehingga keabnormalan kehamilan dapat segera terdeteksi dan teratasi. Pengawasan antenatal hendaknya minimal dilakukan 4 kali, 1 kali pada trimester I, 1 kali trimester II, dan 2 kali pada trimester III (Prawirohardjo, 2002).

Adapun hal-hal yang harus diawasi meliputi peningkatan berat badan ibu hamil, pemenuhan nutrisi, fungsi organ-organ tubuh, pertumbuhan dan perkembangan janin, jumlah dan letak janin serta letak plasenta, persiapan persalinan, keadaan jalan lahir, persiapan laktasi, imunisasi dan psikologi ibu (Jumiarni, 1994).

Derajat kesehatan perlu ditingkatkan terus, hal ini dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia adalah dengan meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM). Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks komposit dari aspek pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Indikator Indeks Pembangunan Manusia di sektor kesehatan adalah umur harapan hidup (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2007). Umur harapan hidup merupakan kontribusi dari Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Balita (AKBA) dan Angka Kematian Ibu (AKI).

Angka Kematian Bayi Baru Lahir di Indonesia saat ini masih jauh dari target yang harus dicapai pada tahun 2015 sesuai dengan kesepakatan sasaran pembangunan milennium. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (2002-2003), jadi Angka Kematian Bayi Baru Lahir (AKBBL) di Indonesia mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup atau dua kali lebih besar dari target World Health Organization (WHO) sebesar 15 per 1000 kelahiran hidup.
Menurut Menteri Kesehatan (2007), berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (2001), penyebab kematian bayi baru lahir di Indonesia diantaranya BBLR 29%, asfiksia 27%, tetanus neonatorum 10%, masalah pemberian makanan 10%, gangguan hematologik 6%, infeksi 5%, dan lain-lain 13%.

Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) menurut WHO (2007)diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 33%-38% dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain yaitu berkisar antara 9% - 30%.
Menurut Mitayami (2011) faktor penyebab BBLR adalah komplikasi obstetri, komplikasi medis, faktor ibu dan faktor janin. Faktor ibu diantaranya adalah dikarenakan penyakit, usia ibu, keadaan sosial ekonomi dan kondisi ibu saat hamil.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2003) Angka Kematian Bayi (AKB) di Propinsi Jawa Barat masih tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional yaitu 321,15 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian bayi adalah komplikasi pada bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), asfiksia dan infeksi. Penyebab tidak langsung AKB adalah faktor lingkungan, perilaku, genetik dan pelayanan kesehatan sendiri (Retnasih, 2005).

Dari fenomena, besarnya masalah, kronologis masalah, dan dampak dari masalah, sehingga diduga ada hubungan anatara pola makan dengan tinggi fundus uteri dan kenaikan berat badan ibu hamil, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hal tersebut.